Abdul Muththalib

Nasab Abdul Muththalib

Namanya adalah Abdul Muththalib bin Hasyim, bin Abdu Manaf bin Qushaiy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.[1]

Putra Putri Abdul Muththalib

Abdul Muththalib memiliki sepuluh orang putra, yaitu;

  1. Al-Harits
  2. Az-Zubair
  3. Abu Thalib
  4. Abdullah
  5. Hamzah
  6. Abu Lahab
  7. Al-Ghaidaq
  8. Al-Muqawwam
  9. Shaffar
  10. Al-Abbas

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka berjumlah 11 orang, yaitu ditambah dengan seorang putra lagi yang bernamaQutsum. Riwayat lain menyebutkan bahwa mereka berjumlah 13 orang, yakni ditambah (dari nama-nama yang sudah ada pada dua versi di atas) dengan dua orang putra lagi yang bernama Abdul Ka’bah dan Hajla. Namun ada riwayat pula yang menyebutkan bahwa Abdul Ka’bah ini tidak lain adalah al-Muqawwam diatas, sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaq dan diantara putra-putranya tidak ada yang bernama Qutsum.

Adapun putrid-putrinya berjumlah enam orang, yaitu

  1. Ummul Hakim (al-Baidha’ /Si Putih)
  2. Barrah
  3. Atikah
  4. Shafiyyah
  5. Arwa
  6. Umaimah[2]

Asal Muasal penamaan Abdul Muththalib

Kisah tentang penamaan Abdul Muththalib bermula dari pernikahan ayahnya, Hasyim dengan seorang wanita yang berasal dari Madinah. Diantara kisah tentang Hasyim (ayahnya Abdul Muththalib); suatu hari dia pergi berniaga ke kota Syam, namun ketika tiba di Madinah, dia menikah dengan Salma binti Amr, salah seorang putrid Bani Adi bin an-Najjar. Dia tinggal bersama istrinya untuk beberapa waktu kemudian berangkat ke negeri Syam – sementara istrinya ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang mengandung Abdul Muththalib di dalam prutnya-. Hasyim akhirnya meninggal di Ghaza, salah satu kawasan Palestina. Istrinya, Salma melahirkan putranya, Abdul Muththalib pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya Syaibah karna tumbuhnya uban di kepalanya.[3]  Salma mendidik anaknya di rumah ayahnya (Amr) di Yatsrib sedangkan keluarganya yang di Mekkah tidak seorangpun dari mereka yang mengetahui prihal dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putra dan lima orang putri. Keempat putranya adalah Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan Abdul Muththalib. Sedangkan kelima putrinya adalah asy-Syifa, Khalidah, Dha’ifah, Ruqayyah dan Jannah.[4]

Sepeninggal Hasyim, penanganan penyediaan minum (siqoyah) dan penyediaan makan bagi jama’ah Haji (rifadah) (yang sebelumnya ditangani oleh Hasyim) diserahkan  kepada saudaranya yang bernama Al-Muththalib bin Abdu Manaf ( Dia adalah seorang bangsawan yang disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan ‘alFayyadh karna kedermawanannya- sebab makna kata al-fayyadh adalah orang yang dermawan, murah hati). Ketika Syaibah alias Abdul Muththalib menginjak usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, pamannya mendengar berita tentang dirinya, lantas pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihatnya, berlinanglah air mata al-Muththalib, lalu anak tersebut di peluk erat-erat dan dinaikkan ke atas tunggangannya untuk dibonceng namun keponakannya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Pamannya, al-Muththalib kemudian memintanya agar merelakan keponakannya tersebut pergi bersamanya, tetapi ibunya menolak permintaan tersebut. Al-Muththalib lantas bertutur, “ Sesungguhnya dia akan berangkat menuju tahtha ayahnya (Hasyim) menuju tanah Haram.” Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Al-Muththalib membawanya ke Mekkah dengan memboncengnya di atas unta. Melihat hal itu, orang-orang berteriak, “ Inilah Abdul (budak) Muththalib!” (maksudnya, mereka mengira yang di bawa oleh al-Muththalib bukan keponakannya, tapi budaknya). Al-Muththalib memotong sembari berkata, “ Celakalah kalian! Dia ini anak saudaraku, Hasyim.” (inilah asal penamaan Abdul Muththalib)  Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersama pamannya hingga tumbuh dan menginjak dewasa. Selanjutnya al-Muththalib meninggal di Rodman, sebuah kawasan di Yaman dan kekuasaannya kemudian beralih kepada keponakannya, Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap kaumnya persis seperti yang digariskan nenek-nenek moyangnya terdahulu, akan tetapi dia mendapat kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu, dia dicintai oleh mereka dan wibawanya di hati mereka semakin besar.[5]

Abdul Muththalib mendapatkan kekuasaan mengurus Ka’bah

Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal menyerobot dan merampas mahkota kekuasaan keponakannya tersebut. Karna itu, dia lantas meminta pertolongan kepada para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka menolak sembari berkata, “ Kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu itu.” Akhirnya dia menulis beberapa untaian syair kepada paman-pamannya dari pihak ibunya, Bani an-Najjar, guna memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa’ad bin Adi bersama delapan puluh orang pasukan penunggang kuda kemudian berangkat menuju Makkah dan singgah di al-Abthah, sebuah tempat di kota Makkah. Dia disambut oleh Abdul Muththalib yang langsur bertutur kepadanya, “ Silahkan mampir ke rumah dahulu, wahai paman!” Pamannya menjawab, “ Demi Allah, aku tidak akan mampir hingga bertemu dengan Naufal,” lantas dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketiak itu sedang duduk-duduk di dekat Hijr Ismail bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa’ad langsung menghunus pedangnya seraya mengancam, “ Demi Rabb rumah ini (Ka’bah)! Jika engkau tidak mengembalikan kekuasaan keponakanku, maka aku akan menancapkan pedang ini ke tubuhmu.” Naufal berkata, “ Aku serahkan kembali kepadanya!” Ucapannya ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama di sna dia umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam), kemudian pulang ke Madinah.[6]

Peristiwa penggalian sumur zamzam

Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana letaknya, lantas dia melakukan panggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi tersebut) dan menemukan di dalamnya benda-benda terpendam yang dulu sempat dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka akan keluar meninggalkan Makkah. Benda-benda tersebut berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Kemudian dia menempa pedang-pedang tersebut untuk membuat pintu Ka’bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia tempa menjadi lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga member minum jama’ah haji dengan air zam-zam.  Ketika sumur mulai kelihatan, orang-orang Quraisy mempermaslahkannya. Mereka berkata kepadanya, “ Izinkan kami bergabung!” Dia menjawab, “ Aku tidak akan melakukannya, sebab ini merupakan sesuatu yang khusus diberikan kepadaku.” Mereka tidak tinggal diam begitu saja, tetapi menggelar permasalahannya ke sidang pengadilan yang dipimpin oleh seorang dukun wanita dari Bani Sa’ad, di pinggiran negeri Syam. Namun dalam perjalanan mereka ke sana, bekal air habis, lalu Allah menurunkan hujan untuk Abdul Muththalib sementara tidak setetes pun tercurah untuk mereka. Mereka akhirnya mengetahui bahwa urusan zamzam telah dikhususkan  untuk Abdul Muththalib sehingga mereka memutuskan untuk pulang. Saat itulah Abdul Muththalib bernadzar bahwa jika Allah mengaruniakan kepadanya sepuluh anak dan mereka sudah menginjak usia baligh, dia akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka’’bah.[7]

Kisah penyembelihan anak  Abdul Muththalib, Abdullah (ayahanda Rasulullah )

Kisahnya, ketika Abdul Muththalib sudah menggenapkan jumlah anak laki-lakinya menjadi sepuluh orang dan mengetahui bahwa mereka mencegahnya agar mengurungkan niatnya, dia kemudian memberitahu mereka perihal nadzar tersebut sehingga mereka pun mau mentaatinya. Dia menulis nama-nama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai, dan yang keluar adalah nama Abdullah. Maka Abdul Muththalib membimbingnya seraya membawa pedang dan pergi menuju ke Ka’bah untuk segera menyembelihnya, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari pihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, Abdul Muththalib berkata,” Lantas, apa yang harus kuperbuat dengan nadzarku? “ Mereka menyarankannya agar dia mendatangi tukang ramal wanita dan meminta petunjukknya. Dia kemudian datang kepadanya dan meminta petunjukkan. Si peramal wanita itu memerintahkannya untuk mengundi antara anak panah yang bertuliskan nama Abdullah dan anak panah bertuliskan sepuluh ekor unta; jika yang keluar nama Abdullah, maka dia (Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor unta lagi, begitu seterusnya hingga Rabbnya ridha. Dan jika yang keluar nama unta, maka cukuplah unta itu yang disembelih sebagai kurban.

Abdul Muththalib pun kembali pulang ke rumahnya dan melakukan undian antara nama Abdullah dan sepuluh ekor unta, lalu keluarlah nama Abdullah. Manakala yang terjadi seperti ini, dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor unta, begitu seterusnya, setiap undian maka yang keluar adalah nama Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh ekor unta hingga unta tersebut sudah berjumlah seratus ekor, barulah undian tersebut jatuh pada nama unta-unta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya (sebagai pengganti Abdullah). Unta tersebut ditinggalkannya begitu saja dan ia tidak melarang siapapun yang menginginkannya baik manusia ataupu binatang buas. Dulu diyat (ganti rugi atas jiwa yang terbunuh) di kalangan orang Quraisy dan bangsa Arab secara keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor unta, namun sejak peristiwa itu, maka dirubah menjadi seratus ekor unta yang kemudian dilegitimasi oleh Islam.

Diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau  bersabda, “ Aku adalah anak (cucu) dari dua orang yang dipersembahkan sebagai sembelihan/kurban.” Yakni, Nabi Ismail dan ayah beliau Abdullah.[8]

Refenesi

[1] Ibnu Hisyam, I/1,2; Tarikh ath-Thabari, II/239-271 (Lihat kitab Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.53)

[2] Ibnu Hisyam, hal.108-109, Talqihu Fuhumi Ahlil Atsar, hal.8,9 (Lihat kitab Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.61)

[3] Ibnu Hisyam, 1/137,157 , demikian juga di dalam kitab ar-Raudh al-Unuf

[4] Ibid, ha. 107 (Lihat kitab Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.55)

[5] Ibnu Hisyam, hal.137,138. Dalam hal ini penentuan usia dalam pembahasan tersebut diambil dari buku Tarikh ath-Thabari, 2/247 (Lihat kitab Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.56)

[6] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.56-57

[7] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.58

[8] Ibnu Hisyam, hal.151-155; Tarikh ath-Thabari, 2/240-243  (Lihat Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal.61-62)