Bangsa Arab

Posisi Bangsa Arab

 Kataالْعَرَبُ  (Arab) menggambarkan prihal padang pasir (sahara), tanah gundul yang gersang tiada air dan tanaman di dalamnya. Sejak priode-periode terdahulu, lafadz  Arab  ini ditujukan kepada jazirah Arab, sebagaimana ia juga ditujukan kepada suatu kaum yang menempati tanah tersebut, lalu mereka menjadikannya sebagai tabah air mereka. Jazirah arab dari arah barat berbatasan dengan laut Merah dan semenanjung gurun Sinai; dari arah timur berbatasan dengan teluk Arab dan bagian besar dari negeri Irak selatan; dari arah selatan berbatasan dengan laut Arab yang merupakan perpanjangan dari laut Hindia dan dari arah utara berbatasan dengan wilayah Syam dan sebagian dari neegeri Irak, terlepas dari adanya perbedaan dalam penentuan batasan ini. Luasnya diperkirakan antara 1.000.000 mil persegi hingga 1.300.000 mil persegi. Dilihat dari kondisi internalnya, Jazirah arab hanya dikelilingi padang sahara dan gurun pasir dari seluruh sisinya. Karna kondisi seperti inilah, jazirah Arab menjadi benteng yang kokoh, yang seakan tidak memperkenankan kekuatan asing untuk menjajah, mencengkramkan pengaruh serta wibawa mereka. Oleh karna itu, kita bisa melihat penduduk jazirah Arab hidup bebas dalam segala urusan semenjak zaman dahulu. Padahal mereka bertetangga dengan dua imperium raksasa saat itu dan tidak mungkin dapat menghadang serangan-serangan mereka andaikan tidak ada benteng pertahanan yang tersebut. Sedangkan hubungannya dengan dunia luar, Jazirah Arab terletak diantara benua-benua yang sudah dikenal di dalam dunia lama dan menyambung dengannya pada tapal batas daratan dan lautan. Sisi barat lautnya merupakan pintu masuk ke benua Afrika; arah timur laut merupakan kunci menuju benua Eropa dan arah timurnya merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa asing. Asia tengah dan Timur jauh terus mencapai ke India dan Cina. Demikian pula setiap benua, lautnya  bertemu dengan Jazirah Arab, setiap kapal dan bahtera laut yang berlayar tentu akan bersandar di pangkalannya. Karna letak geografisnya seperti itu pula, hingga arah utara dan selatan jazirah Arab menjadi tempat berlabuh bagi berbagai suku bangsa dan pusat pertukaran niaga, peradaban, agama dan seni.[1]

 Asal kaum-kaum Arab

 Para sejarawan membagi kaum-kaum Arab berdasarkan garis keturunan asal mereka menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Arab Baidah, yaitu kaum-kaum Arab kuno yang sudah punah dan tidak mungkin melacak rincian yang cukup tentang sejarah mereka, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq (Bangsa Raksasa) dan lai lainnya.

2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Yarib bin Yasyjub bin Qathan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.

3. Arab Mustaribah  yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Ismail, yang disebut dengan Adnaniyah.[2]

Tempat kelahiran Arab Aribah (kaum Qahthan) adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan anak kabilah (marga), yang terkenal darinya ada dua kabilah:

1. Himyar; anak kabilahnya yang paling terkenal adalah Zaid al-Jumhur, Qudhaah dan Sakasik

2. Kahlan; anak kabilahnya yang paling terkenal adalah Hamadan, Anmar, Thayyi, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azd, Aus, Khazraj dan anak cucu dari jafnah yang merupakan para raja di Syam serta lain-lainnya

Anak-anak kabilah (marga) Kahlan banyak yang pergi meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru Jazirah. Ada yang mengatakan bahwa kepergian mereka terjadi menjelang banjir besar saat mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan akibat tekanan dari bangsa Romawi dan dikuasainya jalur perdagangan laut oleh mereka, dilumpuhkannya jalur darat serta keberhasilan mereka menguasai Mesir dan Syam, (dalam riwayat lain) dikatakan, bahwa kepergian mereka setelah terjadinya banjir besar tersebut.[3]

Merupakan hal yang tidak dapat disangkal, bahwa disamping apa yang telah disebutkan diatas-telah terjadi persaingan antara marga Kahlan dan marga Himyar, yang berujung pada hengkangnya marga-marga Kahlan. Hal ini terbukti bahwa marga-marga Himyar tetap eksis di sana, sedangkan marga-marga Kahlan hengkang dari sana. Marga-marga Kahlan yang (meninggalkan Yaman) diantaranya: Azd, Lakhm, Judzam, Bani Thayyi, dan Kindah.[4]

Adapun Arab Mustaribah , nenek moyang mereka yang tertua adalah Ibrahim, yang berasal dari negeri Irak, dari sebuah kota yang disebut Air. Kota ini terletak ditepi barat sungai Eufrat, berdekatan dengan kufah. Penggalian-penggalian dan pengeboran yang telah dilakukan (para arkeolog) telah mengungkap secara rinci latar belakang kota ini dan keluarga besar Nabi Ibrahim serta kondisi religious dan sosial yang ada di negeri itu.[5]

Pemerintahan di Seluruh Negeri Arab sebelum  terbitnya Islam

Secara umum keadaan pemerintahan negeri-negeri Arab sebelum Islam mengalami peepecahan; kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk kepada raja Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka bersifat simbolis belaka dan tidak efektif. Sedangkan kabilah yang berada di daerah-daerah pedalaman di Jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.

Sebenarnya setiap kabilah tersebut memiliki pemimpin yang diangkat oleh kabilahnya, begitu juga kabilah, mereka ibarat pemerintah mini yang pilar politiknya adalah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dan menjaga tanah air secara bersama dan membendung serangan lawan. Kedudukan pemimpin kabilah tersebut ditengah kaumnya seperti kedudukan para raja. Artinya, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya, baik dalam kondisi damai ataupun perang dan tidak ada yang berani menyanggahnya. Dialah yang memiliki semua kekuasaan dan pendapat yang absolut bak seorang diktator yang kuat. Sampai-sampai, jika salah seorang dari mereka marah, maka marah pulalah beribu-ribu pedang yang berkilatan, tanpa bertanya apa sebab kemarahannya. Hanya saja, persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan yang terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri, kadang membuat mereka sedikit berbasa basi di hadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam perilaku-perilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain. Hal itu mereka lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair yang merangkap sebagai penyambung lidah kabilah kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.

Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari harta rampasan perang berupa bagian yuang disebut mirbashafi,nasyithah, atau fudhul.  Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung:

Bagaiamana bagian mirba, shafi, nasyithah, dan fudhul

Dalam kekuasaanmu terhadap kami

Yang dimaksud dengan mirbah adalah seperempat harta rampasan; ash-shafi adalah bagian yang diambil oleh pemimpin kabilah untuk dirinya sendiri; an-Nasyithah adalah sesuatu yang didaipat oleh pemimpin kabilah di jalan sebelum sampai pada musuh, sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta rampasan yang tidak boleh dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti keledai, kuda dan lain-lain.[6]

Kondisi Politik bangsa Arab sebelum terbitnya Islam

 Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing, kondisi politisnya sangat lemah dan merosot serta tidak ada perubahan menonjol. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan dan para budak atau para penguasa dan rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh kambing sedangkan para budak sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat sebuah sawah yang selalu mendatangkan penghasil untuk dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya untuk bersenang  senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara nasib rakyat sendiri tidak karuan, hidup tidak menentu, kelaliman menimpa mereka dari segala arah namun tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak bergerak terhadap tamparan, kelaliman dan bervariasi siksaan. Yang berlaku kala itu adalah hukum tirani, sedangkan hak asasi hilang dan ternoda. Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, adalah orang-orang yang tidak mempunyai pendirian, yang dilempar kesana-kemari oleh hawa nafsu dan ambisi pribadi. Terkadang mereka berpihak kepada penduduk Irak dan terkadang juga berpihak kepada penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai-berai, yang dominan pada mereka adalah perseteruan etnis, perbedaan ras dan agama. Seorang dari mereka sampai mengeluh:

Aku tak lain adalah seorang pelacak jalan, jika ia tersesat

Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ke tujuan maka sampai pulalah aku

Mereka tidak lagi memiliki raja yang dapat menyokong independensi mereka, atau seorang tempat merujuk dan dipegang pendapatnya dikala tertimpa kesusahan. Sedangkan kondisi pemerintahan hijaz sebaliknya, seluruh mata orang Arab tertuju kepadanya dengan memberikan penghargaan dan penghormatan. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelayan sentral keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi atara palang pintu urusan duniawi, sekaligus pemerintahan dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintah tersebut bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika memberikan putusan di lingkungan al-Haram dan hal yang berkenaan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah dan masih menjalankan syariat Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga memiliki instansi-instansi dan firmat-format yang menyerupai system parleman, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tidak mampu mengemban tanggung jawabnya sebagaimana yang tampak saat mereka menyerang orang-orang habasyah dulu.[7]

Keyakinan dan kepercayaan bangsa Arab di masa jahiliyah

Mayoritas bangsa Arab masih mengikuti dakwah Nabi Ismail ketika beliau mengajak mereka untuk menganut agama yang dibawa oleh ayahnya, Ibrahim. Mereka menyembah Allah dan menauhidkanNya serta menganut dinNya hingga lama kelamaan akhirnya mereka mulai lupa beberapa hal yang pernah diingatkan kepada mereka. Hanya saja masih tersisa pada mereka tauhid dan beberapa syiar dari din Nabi Ibrahim, hingga muncullah Amr bin Luhay, pemimpin Bani Khuzaah. Sebelumnya dia tumbuh atas prilaku-prilaku agung seperti perbuatan maruf, bersedekah dan antusiasme tinggi di dalam melakukan urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan tunduk terhadapnya karna menganggap dirinya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang dimuliakan. Kemudian dia bepergian ke kawasan Syam, lalu melihat penduduknya menyembah berhala-berhala. Akhirnya dia merespons positif hal tersebut dan mengiranya suatu kebenaran, sebab Syam adalah tanah air para rasul dan diturunnkannya kitab-kitab. Maka ketika pulang, dia membawa bersamanya behala Hubal dan meletakkannya di dalam Kabah. Lantas mengajak penduduk Mekkah untuk berbuat syirik terhadap Allah dan merekapun menyambut ajakannya tersebut. Selang berapa lama, penduduk Hijaz mengikuti cara penduduk Mekkah karna mereka adalah para pengelola Baitullah dan pemiliki al-Masjid Al-Haram.[8]

Diantara berhala yang paling tua bernama Manat, yang terletak di Musyallal, sebuah kawasan di tepi Laut Merah, dekat Qudaid. Kemudian mereka menjadikan Lata di Thaifdan Uzza di Wadi Nakhlah. Ketiganya merupakan berhala paling besar. Setelah itu kesyirikan semakin merejalela dan berhala-berhalapun banyak bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Disebutkan bahwa Amr bin Luhai mempunyai pembantu (khadam) dari bangsa jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa, Yaghuts, Yauq dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana dn menelusuri jejaknya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah.[9] Mereka membawa pulang berhala-berhala itu ke tempat mereka masing-masing hingga setiap kabilah memilikinya bahkan dimiliki setiap rumah. Mereka juga memajang berbagai macam berhala di al-Masjid al-Haram. Tatkala Rasulullah  menaklukkan Mekkah, disekitar Kabah terdapat tiga ratus enam puluh berhala. Beliau memecahkan berhala-berhala itu hingga berjatuhan semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut keluar dari masjid dan dibakar.[10]

Demikianlah kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala-berhala menjadi fenomena terbesar dari kepercayaan dan keyakinan orang-orang jahiliyah, yang mengklaim bahwa mereka masih menganut agama Ibrahim. Mereka mempunyai beberapa tradisi dan prosesi-prosesi di dalam penyembahan berhala, yang mayoritasnya diada-adakan oleh Amr bin Luhai. Dalam pada itu, masyarakat mengira bahwa apa yang diadakan oleh Amr tersebut adalah bidah hasanah (sesuatu yang diada-adakan namun baik) dan tidak dikategorikan sebagai merubah agama Ibrahim. Diantara prosesi penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah:

1. Berdiam lama di hadapan berhala, berlindung kepadanya, menyebut-nyebut namanya dan meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan serta berdoa kepadanya agar memenuhi hajat mereka dengan keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka inginkan.

2. Menunaikan haji dan Thawaf di sekeliling berhala seraya menghinakan diri di sisinya dan bersimpuh sujud kepadanya.

3. Melakukan taqarrub kepada berhala mereka dengan berbagai bentuk persembahan; menyembelih dan berkurban untuknya dengan menyebut namanya pada saat menyembelih. Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam FirmanNya,

 وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ 

Dan (diharamka atas kalian) apa yang disembelih untuk berhala.[11]

 وَ لاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهِ

 Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.[12]

4. Jenis taqarrub yang lain, mengkhususkan sesuatu dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang ternak mereka. Diantara hal lucu adalah perbuatan mereka mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah juga. Mereka memiliki banyak alasan kenapa memindahkan sesembahan yang sebenarnya sudah diperuntukkan buat Allah kepada berhala-berhala mereka, akan tetapi mereka belum pernah memindahkan sama sekali sesembahan yang sudah diperuntukkan buat berhala mereka kepada Allah. Dalam hal ini, Allah berfirman (artinya),

 Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka,  Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami. Maka sajian-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.[13]

5.      Diantara jenis taqarrub lainnya lagi ialah dengan bernadzar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala tersebut sebagaimana disinyalir dalam Firman Allah,

 وَ قَالُوْا هَٰذِهِ أَنْعٰمٌ وَ حَرْثٌ حِجْرٌ لاَّ يَطْعَمُهَاۤ إِلاَّ مَنْ نَّشَاۤءُ بِزَعْمِهِمْ  وَ أَنْعٰمٌ حُرِّمَتْ ظُهُوْرُهَا وَ أَنْعٰمٌ لاَ يَذْكُرُوْنَ اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا افْتِرَاۤءً عَلَيْهِ 

 Dan mereka mengatakan, ‘ Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki’, menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan meningganginya dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, hanya semata membuat-buat kedustaan terhadap Allah.[14]

6. Diantaranya lagi, ritual al-Bahirah, as-Saibah, al-Washilah, al-Hami . ibnu Ishaq berkata,  Al-Bahirah ialah  anak Betina dari as-Saibah yaitu unta betina yang telah beranak sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh jantan. Unta semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual as-Saibah ; ia tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu, jika kemudian melahirkan anak betina lagi, maka telinganya dibelah. Setelah itu ia dibiarkan lepas bersama induknya, tidak ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya serta tidak boleh diminum susunya kecuali oleh tamu sebagaimana yang perlakukan terhadap induknya. AlBahirah  adalah anak betina dari as-Saibah . Sedangkan al-Washilah adalah domba betina yang bila melahirkan sepuluh anak betina secara kembar berturut-turut dalam lima kehamilan, tidak diantarai lahirnya yang jantan. Bila hal ini terjadi, maka mereka mengadakan ritual al-Washilah. Lalu mereka berkata,  Ia telah menjadi  al-Washilah. Kemudian bila beranak lagi setelah itu, maka mereka mempersembahkan kepada kaum laki-laki saja, tidak kepada kaum wanita mereka kecuali ada yang mati, maka dalam hal ini kaum laki-laki dan wanita bersama-sama melahapnya. Sedangkan al-Hami adalah unta jantan yang sudah membuahkan sepuluh anak betina secara secara berturut-turut, tidak diantarai oleh yang jantan, maka punggung unta seperti ini dipanaskan  (dicolok dengan api), tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk kepentingan ritual tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah menurunkan ayat,

 مَا جَعَلَ اللّٰهُ مِنْ بَحِيْرَةٍ وَ لاَ سَاۤئِبَةٍ وَ لاَ وَصِيْلَةٍ وَ لاَ حَامٍ وَ لٰكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ وَ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ 

 Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sai’bah, washilah dan ham. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.[15]

 Allah juga menurunkan ayat,

 وَ قَالُوْا مَا فِيْ بُطُوْنِ هٰذِهِ الْأَنْعٰمِ خَالِصَةٌ لِّذُكُوْرِنَا وَ مُحَرَّمٌ عَلَىٰ أَزْوَٰجِنَا وَ إِنْ يَكُنْ مَّيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكَاۤءُ 

 Dan mereka mengatakan, ‘Apa yang di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami, dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya.[16]

Ada penafsiran lain terhadap kata al-Anam (binatang ternak).[17] Said bin al-Musayyib telah menjelaskan bahwa binatang-binatang ternak ini diperuntukkan bagi thaghut-thaghut mereka.[18]Telah diriwayatkan secara marfu di dalam Shahih al-Bukhari bahwa Amr bin Luhay adalah orang yang pertama melakukan ritual as-Saibah.[19]

Semua hal diatas dilakukan oleh bangsa Arab terhadap berhala-berhala mereka karna meyakini bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah, menyampaikan mereka kepadaNya dan dapat member Syafaat di sisiNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Quran,

 مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُوْنَاۤ إِلَى اللّٰهِ زُلْفَىٰ

Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepad Allah dengan sedekat-dekatnya.[20]

وَ يَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَ لاَ يَنْفَعُهُمْ وَ يَقُوْلُوْنَ هٰؤُلَاۤءِ شٌفَعَٰۤؤُنَا عِنْدَ اللّٰهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata,’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.[21]

Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan al-Azlam. Makna al-Azlam adalah anak panah yang tidak ada bulunya.[22] Mereka juga percaya kepada informasi yang disampaikan oleh dukun (kahin), tukang ramal, (arraf) dan ahli nujum (munajjimun/astrolog). Makna kahin (dukun ) adalah orang yang suka memberikan informasi tentang gejala-gejala alam di masa depan dan sering disebut dengan mengetahui rahasia-rahasia alam.[23] Disamping itu, pada mereka juga terdapa keyakinan ath-thiyarah, yaitu merasa pesimis terhadap sesuatu, seperti pesimis terhadap hari, bulan, hewan, rumah ataupu wanita.[24] Dan masih banyak lagi keyakinan bangsa Arab jahiliyah yang mengandung kesyirikan dan kebidahan.[25]

Kondisi Masyarakat bangsa Arab di masa Jahiliyah

Kondisi Sosial

Di kalangan bangsa Arab terdapat lapisan masyarakat yang beragam dengan kondisi berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan istrinya di lapisan kaum bangsawan demikian mengalami kemajuan, seorang istri mempunyai porsi yang sangat besar dalam kebebasan berkehendak dan mengambil kebijakan. Wanita selalu  dihormati dan dijaga, tidak jarang pedang harus terhunus dan darah tertumpah karnanya. Seorang laki-laki yang ingin dipuji dimata orang Arab karna dia memiliki kedudukan tinggi berupa kemurahan hati dan keberanian, maka kebanyakan waktunya hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Seorang wanita dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, jika dia suka, namun juga dapat menyulut api peperangan diantara mereka. Meskipun demikian, tanpa dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan pengambil keputusan. Hubungan antara laki-laki dan wanita melalui proses akad nikah adalah di bawah pengawasan para wali wanita. Seorang wanita tidak memiliki hak untuk melakukan sesuatu tanpa seizing mereka. Demikianlah kondisi kaum bangsawan, sementara pada lapisan masyarakat lainnya terdapat jenis lain dari percampur-bauran antara lelaki dan wanita. Ungkapan yang lebih tepat untuk hal itu adalah adalah pelacuran, pergaulan bebas, pertumpahan darah dan perbuatan keji.[26]

Imam Bukhari dan periwayat hadits lainnya meriwayatkan dari Aisyah bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah terdiri dari empat macam:

1. Pernikahan ala sekarang. Caranya, seorang laki-laki datang kepada wali laki-laki untuk melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anak perempuannya, lalu dia menentukan maharnya, kemudian menikahkannya.

2. Seorang laki-laki berkata kepada istrinya manakala ia suci dari haidnya, Pergilah kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya,kemudian setelah itu, istrinya ini diasingkan oleh suaminya dan tidak disentuh selamanya hingga kelihatan tanda kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila telah kelihatan tanda kehamilannya, maka terserah suaminya, jika masih berselera kepadanya maka dia menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah al-Istibda

3. Sekelompok laki-laki yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan serta telah berlalu beberapa malam dari kelahiran, dia mengutus seseorang kepada mereka, maka ketika itu tak seorangpun dari mereka yang dapt mengelak hingga semuanya berkumpul di sisinya, lalu si wanita ini berkata kepada mereka,  Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan. Dia ini adalah anakmu wahai fulan!.. Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, maka anak tersebut mengambil nasabnya.

4. Laki-laki dalam jumlah banyak mendatangi seorang  wanita sementara dia tidak menolak siapapun yang mendatanginya tersebut. Mereka inilah para pelacur. Yang mereka lakukan adalah menancapkan bendera-bendera di pintu rumah mereka yang menjadi symbol. Siapa saja yang menginginkan mereka, maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul kepadanya, lalu mengundang para ahli pelacak jejak (alQafah), kemudian mereka menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka pandang cocok, lantas orang ini mengakui dan dipanggillah dia sebagai anak. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidka boleh menyangkal. Tatkala Allah mengutus Nabi Muhammad,  beliau kemudian menghapuskan semua pernikahan kaum jahiliyah tersebut kecuali pernikahan ala saat ini.[27] Mereka suka mengadakan pertemuan-pertemuan antara kaum laki-laki dan wanita yang diadakan di bawah kilauan mata pedang dan hulu-hulu tombak. Juga, pemenang dalam perang antar suku dapat menyandera wanita-wanita dari suku yang kalah lalu berbuat sesukanya terhadap mereka. Akan tetapi, anak-anak yang lahir dari ibu seperti ini akan mendapatkan aib sepanjang hidup mereka. Kaum jahiliyah juga dikenal suka beristri banyak (poligami) tanpa batas tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara sekaligus, mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau ditinggal, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 22-23.[28] Hak mentalak merupakan wewenang kaum laki-laki dan tidak terbatas pada jumlah tertentu.[29]

Singkat kata, kondisi sosial bangsa Arab pada era jahiliyah berada dalam sangkar  kelemahan dan kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana, sementara kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar ummat sangat lemah, sementara pemerintahan yang ada, perhatian utamanya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.[30]

Kondisi Ekonomi

 Kondisi sosial diatas berimbas kepada kondisi ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bangsa Arab.  Berniaga merupakan sarana terbesar mereka untuk meraih kebutuhan hidup, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila keamanan dan perdamaian merata. Akan tetapi hal ini semua lenyap dari jazirah Arab kecuali pada  al-Asyhurul hurum saja. Dalam bulan-bulan inilah pasar-pasar Arab terkenal seperti Ukazh, Dzil Majaz, Majinah dan lainnya beoprasi. Sedangkan kegiatan industry, mereka termasuk bangsa yang amat jauh untuk samapai kea rah itu. Sebagian besar hasil perindustrian bangsa Arab hanyalah seni tenunan, samaak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan inipun hanya ada pada masyarakat Yaman, Hirah, dan pinggiran negeri Syam. Memang benar, dikawasan domestik Jazirah terdapat semisal aktivitas bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta unta. Semua kaum wanita bekerja sebagai pemintal. Namun harta tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.[31]

Kondisi Moral

Kita tidak memungkiri bahwa pada sisi masyarakat jahiliyah terdapat kehidupan nista, pelacuran dan hal-hal lain yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh hati nurani. Namun demikian, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja, juga membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak-akhlak tersebut adalah:

Kemurahan hati

Mereka berlomba-lomba memiliki sifat ini berbangga dengannya. Setengah dari bait-bait syair mereka tuangkan untuk menyebut sifat ini, baik dalam rangka memuji diri sendiri maupun memuji orang lain. Seseorang terkadang kedatangan tamu di saat temperatur udara demikian dingin dan perut merintih kelaparan, dan disaat itu pula, ia tidak memiliki harta apa-apa selain unta betina yang satu-satunya menjadi gantungan hidupnya dan keluarganya, akan tetapi karna terobsesi oleh getaran kemurahan hati membuatnya untuk bergegas untuk menyuguhkan sesuatu. Karenanya, dia lantas menyembelih satu-satunya unta miliknya untuk tamunya tersebut. Diantara pengaruh sifat murah hati tersebut, menjadikan mereka sampai-sampai rela menanggung denda yang demikian besar dan beban-beban yang dahsyat demi upaya mencegah pertumpahan darah dan melayangnya jiwa. Mereka berbangga atas hal tersebut dan menyombongkan diri di hadapan orang lain, baik para tokoh maupun para pemuka. Sebagai implikasi dari sifat tersebut, mereka membanggakan diri dengan kebiasaan meminum arak. Hal ini sebenarnya bukanlah lantaran bangga dengan esensi minum meminum itu, tetapi hal itu merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang suka foya-foya. Dan lantaran itu pula, mereka menamakan pohon anggur dengan bintul karam (putri kemurahan hati). Jika anda membuka lembaran-lembaran diwan (koleksi-koleksi) syair-syair jahiliyah, anda akan menemukan satu bab yang bertajuk al-madh wal fakhr (pujian-pujian dan kebanggaan diri). Dala hal ini antarah bin Syaddad al-Absy mengurai bait-bait syairnya dalam muallaqahnya[32] :

 Sungguh aku telah menenggak arak di tempat mulia

sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan

dengan botol kuning diatas nampan

nan terangkai bunga dalam genggaman tangan dingin

saat aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh hartaku

namun begitu, kehormatanku masih sadarkan

kala aku tersadar, takkan lengah menyongsong panggilan

sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabiatku

Pengaruh lainnya dari sifat al-karam adalah  menjadikan mereka sibuk dengan bermain judi dimana mereka menganggap hal itu sebagai salah satu sarana menuju sifat tersebut. Karna dari keuntungan yang diraih dalam judi tersebut, mereka belanjakan makanan untuk fakir miskin. Atau bisa juga diambil dari sisa saham yang diraih masing-masing pemenang. Oleh karna itu anda mendapatkan al-Quran tidak mengingkari manfaat dari arak dan judi itu, akan tetapi yang dinyatakan al-Quran adalah,

  وَ إِثْمُهُمَاۤ أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا 

 Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.[33]

Menepati janji

Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama yang harus dipegang teguh, bahkan untuk merealisasikannya mereka tidak segan-segan membunuh anak-anak mereka dna menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan membaca kisah Hanibin Masud, as-Samau al bin Adiya dan hajib bin Zurarah at-Tamimi.

Harga diri

 Implikasi dari sifat ini adalah tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi meluap. Mereka adlah orang-orang yang tidak akan pernah bisa bersabar mendengar ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan. Dan apabila hal itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan hulu tombak serta mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.

Tekad yang pantang surut

Bila mereka sudah bertekat untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan, maka tak ada satupun yang dapat menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan nekad menerjang bahaya demi hal itu

Meredam kemarahan, sabar dan amat hati-hati

Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini, hanya saja keberadaannya seakan terselimuti olah amat berlebihannya sifat pemberani dan langkah cepat untuk berperang.

Gaya hidup lugu dan polos ala Badui dan belum terkontaminasi oleh peradaban dan pengaruhnya

Implikasi dari gaya hidup semacam ini adalah timbulnya sifat jujur, amanah serta anti menipu dan khianat.[34]

Penguasa di Jazirah  Arab saat awal terbitnya Islam

Di saat terbitnya matahari Islam, para penguasa di Jazirah Arab bisa dibagi menjadija dua kelompok:

1. Raja-raja bermahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi

2. Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa sama seperti kekuasaan para raja; mayoritas mereka memiliki independensi penuh. Namun boleh jadi sebagian mereka bersubordinasi dengan raja bermahkota. Raja-raja yang bermahkota  tersebut adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam, Keluarga Besar Ghasssan dan raja-raja Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa selain mereka di Jazirah Arab tidak memiliki mahkota.[35]

Kondisi bangsa Arab setelah  tersebarnya dakwah Islam

Berkat dakwah Islam, terwujudlah persatuan Arab, persatuan kemanusiaan dan keadilan sosial serta kesejahteraan manusia dalam setiap urusan dan permasalahan dunia maupun akhirat sehingga merubah perjalanan waktu dan wajah bumi ini, garis sejarahpun menjadi lurus serta akal manusia menjadi berubah. Sebelum adanya dakwah Islam, dunia terkurung dalam spirit jahiliyah, sanubarinya telah membusuk, ruhnya telah basi dan nilai-nilai moral dan etika luhur pun telah timpang. Sehingga alam diselimuti oleh kedzhaliman dan perbudakan, dikeroyok oleh gerombolan kemewahan keji dan norma-norma yang buruk. Ia diliputi oleh gumpalan-gumpalan kekufuran, kesesatan dan kegelapan sekalipun agama-agama samawi yang telah dinodai penyelewengan, disusupi berbagai kelemahan dan telah kehilangan keseimbangan jiwa serta ditempati oleh ritual-ritual beku yang tidak mempunyai ruh dan kehidupan. Tatkala dakwah Islam bangkit memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat, maka jiwa manusia menjadi suci bersih dari segala angan-angan dan khurafat, bersih dari perbudakan dan penghambaan (kepada selain Allah), bersih dari kehancuran dan kebusukan serta suci dari kotoran dan kebejadan. Komunitas manusia bersih dari kezhaliman dan keangkuhan, terbebas dari perpecahan dan kebinasaan, bersih dari perbedaan strata sosial, dari kelaliman para penguasa serta dari tipu daya para dukun (paranormal). Dakwah Islam berhasil membangun dunia di atas pondasi kesucian diri, kebersihan, nilai-nilai positif dan konstruktif, kebebasan dan reformasi, pengetahuan dan keyakinan, rasa percaya diri, keimanan, keadilan dan kehormatan. Demikian juga, diatas pondasi kerja keras yang tiada henti untuk  mengembangkan dan meningkatkan taraf kehidupan serta memberikan hak kepada masing-masing yang berhak memilikinya. Berkat perkembangan-perkembangan ini, Jazirah Arab benar-benar mengalami kebangkitan yang diberkahi Allah, suatu kebangkitan yang belum pernah dijumpai sepertinya semenjak munculnya segala bentuk pembangunan dan sejarahnya belum pernah menjadi gemerlap seperti gemerlapnya ia pada masa-masa yang unik ini sepanjang usianya.[36]


Refrensi


[1] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 1-2

[2] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 2

[3] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 3

[4] Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan hijrahnya dalam buku-buku: “ Nasab Ma’d wal Yaman al-Kabir” “ Jamharah an-Nasab”, “al-‘Iqdul Farid”, “Qala’id al-Jumman”, Nihayah al-Arib”, “Tarikh Ibnu Khaldun”, “ Saba’ik adz-Dzahabi”, dan lain-lain. (Lihat Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 3-4)

[5] Untuk memperluas pembahasan lihat rincian kisah tentang Perjalan Hidup Nabi Ibrahim dalam Shahih al-Bukhari, Kitab Al-Anbiya’ , I/474, 475, no.3364, 3365 (Lihat pula perjalanan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 5-11)

[6] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 27-28

[7] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 29

[8] Mukhtashar Shiratir Rasul , karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.12 (Lihat Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 30)

[9] Lihat Shahih al-Bukhari ,1/22

[10]  Ibid, hal.1610, 2478, 3351, 3352, 4278, 4288, 4272; Mukhtashar Shiratir Rasul, op.cit, hal.13,50,51,52,54 (Lihat Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 31)

[11] Al-Quran Surat Al-Maidah:3

[12] Al-Quran Surat Al-An’am:121

[13] Al-Quran Surat Al-An’am:136

[14] Al-Quran Surat Al-An’am:138

[15] Al-Quran Surat Al-Maidah:103

[16] Al-Quran Surat Al-An’am:139

[17] Lihat Sirah Ibnu Hisyam, op.cit., 1/89-90

[18] Shahih al-Bukhari, 1/499

[19] Ibid

[20] Al-Quran Surat Az-Zumar:3

[21] Al-Quran Surat Yunus: 18

[22] Lihat penjelasan  rinci tentang al-Azlam dalam Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 35

[23] Lihat penjelasan  rinci tentang kahin dalam Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 35-36

[24] Lihat penjelasan  asal-muasal thiyarah bangsa Arab  dalam Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 36-37

[25] Lihat Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 30-39

 

[26] Lihat Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 43

[27] Lihat Shahih al-Bukhari, no.5127; Abu Dawud, kitab an-Nikah, bab: Wujuh an-Nikah allati kana Yatanakahu biha Ahlul Jahiliyyah

[28] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 45

[29] Abu Dawud, bab: Nashkul Muraja’ah ba’dat thathliqat ats-Tsalatsah. Inilah yang disebutkan oleh para ahli tafsir sebagai sebab turunnya Firman Allah”( Lihat At-Thalaq Marritain”. Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 45)

[30] Lihat pembahsan rincinya dalam Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 48, lihat juga hal. 46,47

[31] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 48-49

[32] Mu’allaqah artinya sesuatu yang digantung. Maksudnya di sini, sejumlah kumpulan syair-syair tujuh penyair Arab terkenal pada masa itu yang dinamakan dengan al-mu’allaqat as-Sab’, termasuk diantaranya Syair-Syair antarah ini. Syair-Syair tersebut digantungkan secara bersama di dinding ka’bah sehingga semua orang  yang melakukan thawaf dapat mengetahui sekaligus membacanya, pent.

[33] Al-Quran Surat Al-Baqarah:219

[34] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 49-51

[35] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 12

[36] Ar-Rahiq al-Makhtum , oleh Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Edisi Indonesia, penerbit: Darul Haq, hal. 681-682