Budak

Pengertian Budak 

Kata budak atau perbudakan yang dalam bahasa arab disebut Raqiq  diambil dari kata riqq yang berarti lembut lawan dari kata ghilzhah yang berarti keras. Hal ini terkait dengan keberadaannya, diamana seorang budak itu harus bersikap lembut kepada tuannya dan tidak keras terhadapnya, karna ia milik tuannya.[1]

Hukum perbudakan

 Perbudakan dalam Islam hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah,

وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ

 “Dan hamba sahayamu.”[2]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

مَنْ لَطَمَ مَمْلُوْكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ

“Barang siapa menampar budaknya atau memukulnya, maka kaffaratnya adalah memerdekakannya.”[3] 

Sejarah dan asal-usul budak[4]

 Perbudakan sudah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dan telah dijumpai di kalangan bangsa-bangsa kuno seperti: Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi, juga hal itu disebutkan dalam kitab-kitab suci samawi seperti Taurat dan Injil. Hajar ibunda Ismail bin Ibrahim asalnya adalah seorang budak wanita yang di hadiahkan oleh raja mesir kepada Sarah, istri nabi Ibrahim. Sarah pun menerimanya dan memberikannya kepada suamiya (nabi Ibrahim), kemudian nabi Ibrahim menggaulinya yang kemudian melahirkan nabi Ismail untuknya.

Adapun asal usul terjadinya perbudakan adalah karena sebab-sebab berikut:

Perang

Jika sekelompok manusia memerangi kelompok manusia lainnya dan berhasil mengalahkannya, maka mereka menjadikan para wanita dan anak-anak kelompok yang berhasil dikalahkan sebagai budak.

Kefakiran (kemiskinan)

Tidak jarang kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan sebagi budak bagi manusia lainnya.

Perampokan dan pembajakan

Pada masa lalu rombongan besar bangsa-bangsa Eropa singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro, kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa. Disamping itu para pembajak laut dari Eropa membajak kapal-kapal yang melintas dilautan dan menyerang para penumpangnya, dan jika mereka berhasil mengalahkannya, maka mereka menjual para penumpangnya di pasar-pasar budak Eropa dan mereka memakan hasil penjualannya.

Islam adalah agama Allah yang benar. Islam tidak membolehkan sebab-sebab tersebut di atas, kecuali hanya satu sebab saja yaitu perbudakan karena perang dan hal itu merupakan rahmat bagi manusia. Pada umumnya para pemenang perang cenderung berbuat kerusakan karena pengaruh kebencian, di mana mereka tega membunuh para wanita dan anak-anak untuk melampiaskan kebencian mereka terhadap kaum laki-lakinya yang berperang dengan mereka, yaitu dengan cara membunuh kaum wanitanya dan anak-anaknya.

Sedangkan alasan agama islam membolehkan para pemeluknya memperbudak para wanita dan anak-anak kaum yang di kalahkannya ialah:

  1. Untuk memelihara kelangsungan hidup mereka.
  2. Untuk membahagiakan dan memerdekakan mereka.

Adapun terhadap para tentara laki-laki musuh, maka imam diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya antara membebaskan mereka tanpa tebusan ataupun membebaskan mereka dengan tebusan harta atau senjata atau tawanan lainnya (pertukaran tawanan). Sebagaimana hal tersebut disebutkan oleh Allah dalam Firmannya,

فَإِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىۤ إِذَاۤ أَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوْا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَ إِمَّا فِدَاۤءً حَتَّىۤ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

 “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti.”[5]

Muamalah yang di ajarkan Islam terhdap budak

 Perlakuan bangsa-bangsa di dunia terhdap budak tidak jauh berbeda kecuali perlakuan yang ditujukan umat islam. Dimana dalam tradisi bangsa-bangsa selain islam, seorang budak tidak lebih dari alat yang dapat dipergunakan untuk mengerjakan seluruh pekerjaan dan untuk mencapai segala tujuan. Mereka membiarkan budak mereka dalam keadaan lapar, disiksa, dibebani dengan berbagai pekerjaan diluar batas kemampuannya, disetrika, dibakar dan organ tubuhnya dipotong hanya karna ia melakukan kesalahan yang sepele. Bangsa-bangsa tersebut menamakan budak dengan sebutan “ alat yang mempunyai ruh dan kenikmatan hidup”. Adapun perbudakan dalam Islam, maka Islam memperlakukannya dengan perlakuan yang sesuai dengan kehormatan dan kemuliaan manusia. Islam mengharamkan pemukulan, pembunuhan, penghinaan dan pelecehan terhadap budak. Kemudian Islam memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berbuat baik kepada budak.[6]

Adapun nash-nash yang berkenaan dengan hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah:

وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَ بِذِى الْقُرْبَٰى وَ الْيَتَٰمَٰى وَ الْمَسَٰكِيْنِ وَ الْجَارِ ذِى الْقُرْبَٰى وَ الْجَارِ الْجُنُبِ وَ الصَّاحِبِ بِاالْجَنْبِ وِ ابْنِ السَّبِيْلِ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“ Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya.”[7]

2. Sabda Rasulullah ﷺ

هُمْ إِخْوَانُكُمْ وَ خَوَلُكُمْ جَعَلَهَمُ اللّٰهُ تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوْهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَ لْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَ لاَ تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ عَلَيْهِ

“ mereka (para budak) adalah saudara-saudaramu dan pelayan-pelayanmu; dimana Allah telah menjadikan mereka berada di bawah kekuasaanmu. Barangsiapa yang saudaranya itu berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya makan dengan makanan seperti yang ia makan, memberinya pakian dengan pakaian seperti yang ia pakai dan janganlah kamu membebani mereka dengan beban yang tidka sanggup mereka pikul, dan jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan, maka bantulah mereka dalam mengerjakannya.”[8]

 Dalam hadits yang lain Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ لَطَمَ مَمْلُوْكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ

“Barangsiapa menampar budaknya atau memukulnya, maka kaffaratnya adalah memerdekakannya.”[9]

Ayat al-Quran dan Hadits diatas, menunjukkan kepada kita betapa para budak dalam islam dimuliakan sebagaimana dimuliakannya orang-orang yang merdeka. Hal ini menjadikan kita semakin yakin bahwa ajaran islam adalah ajaran yang adil, rahmat, penyayang, mulia dan sempurna. Semoga Allah memberikan hidayah  kepada orang-orang yang membenci Islam.

Islam menganjurkan untuk membebaskan budak

 Diantara ajaran Islam yang penuh dengan rahmat adalah Islam menganjurkan untuk membebaskan budak. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal berikut ini:

  1. Islam menjadikan kemardekaan budak sebagai kafarat (penebus) pembunuhan karna keliru dan beberapa pelanggaran seperti thalaq, zhihar, tidak menunaikan sumpah dan menodai kesucian bulan Ramadhan dikarenakan tidak berpuasa di siang harinya
  2. Perintah Islam kepada pemilik budak agar mengadakan perjanjian pembebasan (pemerdekaan) dengan budak-budak yang mengehendaki pembebasan dirinya serta perintah islam kepada pemiliki budak agar membantu pembebasan budaknya dengan cara memberinya sebagian harta. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran:

 وَ الَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَءَاتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيۤ ءَاتَٰكُمْ

“ dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu membuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu.”[10]

3. Islam menetapkan bagian khusus dari zakat untuk membantu pembebasan budak. Sebagaimana Firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَ الْمَسَٰكِيْنِ وَ الْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِيْ الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِيْنَ وَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ، وَ اللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“ sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”[11]

4. Keberadaan seorang budak harus dimerdekakan jika sebagiannya telah dimerdekakan. Karna jika seorang muslim memerdekakan suatu bagian pada salah satu budak, maka ia diperintahkan supaya menaksir bagiannya yang masih tersisa, kemudian dihargakan dengan uang, lalu uangnya itu diberikan kepada pemilik yang lainnya, selanjutnya budak tersebut dimerdekakan. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi,

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِيْ عَبْدٍ فَكَانَ لَهُ مَا يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيْمَةَ الْعَدْلِ فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَ عُتِقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ

“ Barangsiapa memerdekakan (saham) persekutuannya di dalam kepemilikan satu budak lalu dia mempunyai uang seharga budak tersebut, maka (hendaklah) budak tersebut ditaksir dengan harga yang adil, kemudian ia membayarkan (sisa) saham kepada para sekutunya yang lain, selanjutnya budak itu dimerdekakannya.”[12]

5. Islam memperbolehkan menggauli budak-budak wanita, dengan tujuan supaya kelak mereka menjadi ibu dari anak-anak yang dikandungnya, lalu mereka dimerdekakan karnanya, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ

أَيُّمَا أَمَةٍ وَلَدَتْ مِنْ سَيِّدِهَا فَهِيَ حُرَّةٌ بَعْدَ مَوْتِهِ

“ Budak wanita manapun yang melahirkan anak dari tuannya, maka ia merdeka setelah kematian tuannya.”[13]

6. Islam telah menetapkan kafarat memukul budak dengan memerdekakannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

مَنْ ضَرَبَ غُلاَمًا لَهُ حَدًّا لَمْ يَأْتِهِ أَوْ لَطَمَهُ فَإِنَّ كَفَّارَتَهُ أَنْ يُعْتِقَهُ

“ Barangsiapa yang memukul sahaya miliknya atau menamparnya sebagai hukuman atas apa yang tidak pernah dilakukannya, maka kafaratnya adalah memerdekakannya.”[14]

7. Islam menjadikan kemardekaan seorang budak semata-mata karna memiliki hubungan keluarga dengan pemiliknya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَرْحَمٍ فَهُوَ حُرٌّ

“ Budak yang memiliki hubungan keluarga lagi mahram dengan pemiliknya, maka ia menjadi merdeka.”[15] 

Hukum-hukum terkait perbudakan dan perinciannya

 ‘Itq

Pengertian ‘itq

 Itq adalah memerdekakan budak yang dimiliki dan membebaskan seorang budak dari perbudakan.[16] 

Hukum ‘itq

Itq hukumnya sunnah, berdasarkan firman Allah,

فَكُّ رَقَبَةٍ

“ (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.”[17]

 Dan juga sebagaimana hadits Nabi ﷺ,

مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللّٰهُ بِكُلِّ إِرْبٍ مِنْهَا إِرْبًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ حَتَّى إِنَّهُ لَيُعْتِقُ الْيَدَ بِالْيَدِ وَ  الرِّجْلَ بِالرِّجْلِ وَ الْفَرْجَ بِالْفَرْجِ

“ Barangsiapa yang memerdekakan setiap anggota tubuhnya dengan anggota tubuh budak tersebut hingga Allah memerdekakan tangan dengan tangan, kaki dengan kaki dan kemaluan dengan kemaluan.”[18]

Hikmah ‘itq 

Diantara hukmah ‘itq adalah untuk membebaskan manusia yang terpelihara dari mudharat perbudakan, sehingga ia dapat memiliki dirinya sendiri dan mendapatkan manfaatnya, menyempurnakan hukum-hukumnya dan memungkinkannya bertindak atasa nama dirinya sendiri dan memperoleh manfaat sesuai dengan kehendak dan pilihannya.[19]

Beberapa ketentuan (aturan) hukum tentang ‘itq[20] 

Adapun beberapa ketentuan hukum tentang itq adalah sebagai berikut:

  1. itq harus dilakukan dengan bahasa yang jelas, seperti: “ Kamu merdeka” atau “ kamu adalah budak yang merdeka” atau “ aku telah memerdekakanmu.” itq bisa juga dilakukan dengan bahasa sindiran, tetapi harus disertai dengan niat memerdekakan, seperti: “ Aku telah membiarkan jalanmu” atau “ aku tidak memiliki kekuasaan lagi atas dirimu.”
  2. itq sah dilakukan oleh orang yang mengelola hartanya, yaitu: Orang yang berakal, baligh dan dewasa. Dengan demikian tidak sah memerdekakan budak yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil atau orang boros yang terkena hajr, karna mereka itu termasuk orang-orang yang tidak diperbolehkan mengelola hartanya.
  3. Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang atau lebih, kemudian salah seorang sekutu memerdekakan bagiannya atas budak tersebut, maka bagian sisanya harus ditaksir jika orang tersebut adalah orang yang dilapangkan rizkinya, (ukran kelapangan rizki disini adalah memiliki kelebihan makanan sehari semalam dan kebutuhan pokok lainnya berupa pakaian dan rumah) kemudian budak yang menjadi milik bersama tersebut dibebaskan. Jika orang yang bersangkutan tidak memungkinkan, maka yang dibebaskan dari budak tersebut adalah bagian yang ia bebaskan saja, berdasarkan sabda Rasulullah,

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِيْ عَبْدٍ فَكَانَ لَهُ مَا يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيْمَةَ الْعَدْلِ فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَ عُتِقَ جَمِيْعُ الْعَبْدِ وَ إِلاَّ عُتِقَ مِنْهُ مَ عُتِقَ

“ Barangsiapa memerdekakan (saham) persekutuannya di dalam kepemilikan satu budak lalu dia mempunyai uang seharga budak tersebut, maka (hendaklah) budak tersebut ditaksir dengan harga yang adil, kemudian ia membayarkan (sisa) saham kepada para sekutunya yang lain, selanjutnya budak itu dimerdekakan.Jika tidak bisa demikian, maka dimerdekakan dari budak tersebut apa yang ia merdekakan darinya”[21]

  1. Barangsiapa mengaitkan kemerdekaan seorang budak dengan suatu syarat, maka budak tersebut dimerdekakan jika syarat tersebut telah terpenuhi, dan jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka budak tersebut tidak merdeka. Jadi barangsiapa yang berkata kepada budaknya, “ kamu merdeka, jika istriku melahirkan anak laki-laki”, jika istrinya melahirkan anak laki-laki, maka budak tersebut merdeka seketika itu juga.
  2. Barangsiapa memiliki budak, kemudian memerdekakan sebagiannya, maka sebagiannya lagi harus dimerdekakan. Hal itu dikarenakan keumuman sabda Rasulullah ﷺ,

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِيْ عَبْدٍ فَكَانَ لَهُ مَا يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيْمَةَ الْعَدْلِ فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَ عُتِقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ

 “Barangsiapa memerdekakan (saham) persekutuannya di dalam kepemilikan satu budak lalu dia mempunyai uang seharga budak tersebut, maka (hendaklah) budak tersebut ditaksir dengan harga yang adil, kemudian ia membayarkan (sisa) saham kepada para sekutunya yang lain, selanjutnya budak itu dimerdekakannya.”[22]

Sebagaimana juga yang disebutkan pada hadits yang lain,

مَنْ أَعْتَقَ شِقْصًا لَهُ فِيْ مَمْلُوْكٍ فَعَلَيْهِ خَلاَصُهُ فِيْ مَالِهِ

  “ Barangsiapa memerdekakan bagiannya dari seorang budak, maka ia harus mengeluarkan sebagian hartanya (untuk memerdekakan bagian yang lainnya).”[23]

  1. Barangsiapa memerdekakan budak dalam sakitnya yang membawanya pada kematian, maka sepertiga dari budak tersebut dimerdekakan selama belum melampaui nilai sepertiga hartanya, karena hal itu seperti wasiat, sedang wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga.

Tadbir[24]

Pengertian Tadbir

Tadbir adalah mengaitkan kemardekaan seorang budak dengan kematian tuannya (pemiliknya), seperti pemilik budak berkata kepada budaknya, “Kamu merdeka setelah kematianku.” Jika pemilik budak tersebut meninggal dunia, maka budaknya merdeka.        

Hukum Tadbir

Tadbir  hukumnya diperbolehkan, kecuali jika seseorang tidak memiliki harta selain budak yang ditadbirnya itu. Dari jabi bahwa seseorang bermaksud memerdekakan budaknya setelah kematiannya, akan tetapi kemudian ia jatuh miskin, sehingga Rasulullah bersabda,” siapakah yang bersedia membeli budak dariku?” Kemudian budak itu dijual kepada Nuaim bin Abdullah seharga 800 dirham dan Rasulullah memberikan hasil penjualannya kepada orang itu, seraya bersabda, “kamu lebih membutuhkannya daripada budakmu.”[25]

Hikmah Tadbir 

 Diantara hikmah tadbir adalah: Memberikan kemudahan kepada orang Islam, karna bisa jadi ia memiliki budak dan bermaksud memerdekakannya, akan tetapi ia melihat dirinya sangat membutuhkan bantuan budak tersebut. Karna itu, maka ia mentadbirnya. Dengan demikian, maka ia memperoleh pahala memerdekakan budak tanpa kehilangan manfaat dari budaknya tersebut sepanjang hidupnya.

Beberapa ketentuan hukum tentang Tadbir    

Adapun ketentuan hukum yang terkait dengan tadbir adalah sebagai berikut:

  1. Tadbir harus diucapkan, misalnya: “ Kamu merdeka sepeninggalku” atau “ kamu merdeka setelah kematianku” atau “ jika aku meninggal dunia, maka kamu merdeka” dan ucapan-ucapan lainnya yang setara dengan ucapan-ucapan tersebut.
  2. Budak yang ditadbir dimerdekakan setelah kematian pentadbirnya dengan ketentuan nilai budak tersebut adalah sepertiga dari harta pentadbir Jika nilanya kurang atau sama dengan sepertiga, maka budak tersebut boleh dimerdekakan. Sedangkan jika tidak, maka budak tersebut dimerdekakan sesuai dengan kadar hartanya. Inilah pendapat yang dipegang jumhur ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in dan para imam, karna tadbir itu adalah perbuatan baik seperti layaknya wasiat, sedangkan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga
  3. Jika tadbir dikaitkan dengan suatu syarat, maka hal itu diperbolehkan. Jika syarat tersebut terpenuhi, maka budak menjadi merdeka. Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمُؤْمِنُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ

  “ Orang-orang mukmin harus menepati persyaratan yang telah mereka sepakati.”[26]

Jika pemilik budak berkata, “ Jika aku meninggal dunia karna penyakit ini, maka kamu merdeka.” Jika pemilik budak itu meninggal dunia karna penyakit tersebut, maka budaknya menjadi merdeka, tapi jika pemiliknya tidak kunjung meninggal dunia, maka budak tersebut tidak menjadi merdeka

  1. Budak yang ditadbir boleh dijual[27] untuk membayar hutang atau pemiliknya jatuh miskin, karna Rasulullah menjual budak seseorang yang telah ditadbirnya saat beliau melihat bahwa orang tersebut sangat membutuhkan uang hasil penjualan budaknya tersebut.[28] Aisyahpun pernah menjual budak wanita yang telah ditadbirnya, karna budak wanita tersebut menyihirnya.[29]
  2. Jika budak wanita yang sedang hamil ditadbir, maka anaknya seperti dirinya, yaitu dimerdekakan setelah kematian pemiliknya, karna Umar bin al-Khaththab dan Jabir berkata, “Kedudukan anak dari budak yang ditadbir adalah seperti budak yang ditadbir tersebut (ibunya).”[30]
  3. Pemilik budak diperbolehkan menggauli budak wanita yang telah ditadbirnya, karena budak wanita tersebut adalah miliknya, berdasarkan Firman Allah,

إِلاَّ عَلَىۤ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُهُمْ

“ kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki.”[31]

Jumhur ulama membolehkan pemilik budak menggauli budak wanita yang telah ditadbirnya

  1. Jika budak yang telah ditadbir membunuh pemiliknya, maka tadbirnya menjadi batal dan budak tersebut tidak jadi dimerdekakan. Hal itu sebagai hukuman atas pembunuhan yang telah dilakukannya dan agar para budak yang telah ditadbir tidak mempercepat kematian para pemiliknya.

Mukatab[32]

Pengertian Mukatab

 Mukatab adalah budak yang dimerdekakan oleh pemiliknya karena ia memberikan sejumlah uang kepada pemiliknya dengan cara mencicilnya dalam jumlah tertentu. Dimana pemiliknya membuat catatan pembayarannya dan jika budka tersebut telah melunasi cicilan kemerdekaan dirinya pada waktunya, maka ia menjadi orang yang merdeka.

Hukum Mukatab

 Mukatab hukumnya disunnahkan, berdasarkan firman Allah,

وَ الَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمٰنُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِ خَيْرًا وَءَاتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ مِّنَ اللّٰهِ الَّذِىۤ ءَاتَىٰكُمْ

“ dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu.”[33]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ

مَنْ أَعَانَ غَارِمًا أَوْ غَازِيًا أَوْ مُكَاتِبًا فِيْ كِتَابَتِهِ، أَظَلَّهُ اللّٰهُ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ

“ barangsiapa membantu orang yang berhutang, atau mujahid atau budak untuk pembebasan dirinya, niscaya Allah akan menaunginya pada hari dimana tidak ada naungan selain naunganNya.”[34]

Beberapa ketentuan hukum tentang Mukatab

Adapun beberapa ketentuan hukum tentang mukatab adalah sebagai berikut:

  1. Mukatab itu merdeka pada akhir pembayaran cicilan pembebasan dirinya.
  2. Status mukatab tetap sebagai budak; dimana hukum-hukum tentang perbudakan berlaku terhadap dirinya kendati pembayaran dirinya hanya tersisa satu dirham, berdasarkan pendapat sebagian besar para sahabat dan berdasarkann hadits yang telah diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

الْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ

“Mukatab itu tetap menjadi budak selama pembayarannya masih tersisa meskipun hanya satu dirham.”[35]

  1. Pemilik mukatab wajib membantu mukatabnya dengan memberinya harta seperti dengan membebaskan seperempat dari harga cicilan atau sejenisnya sebagai bantuan kemerdekaan mukatabnya, berdasarkan firman Allah,

وَءَاتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ مِّنَ اللّٰهِ الَّذِىۤ ءَاتَىٰكُمْ

“dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu.”[36] 

Pemilik mukatab boleh memberikan bantuannya itu secara kontan atau mengurangi harga cicilan mukatabnya tersebut.

  1. Jika mukatab bersegera melunasi uang cicilan kemerdekaan dirinya sehingga hanya dengan sekali atau dua kali bayar, maka pemilik mukatab tersebut harus menerimanya kecuali jika mendatangkan mudarat bagi pemiliknya, maka pemilik mukatab tidak harus menerimanya, sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Umar.[37]
  2. Jika pemilik mukatab itu meninggal dunia sebelum mukatab melunasi cicilan kemerdekaan dirinya, maka mukatab tetap harus melunasinya dan menyerahkan sisa uang cicilan kemerdekaan dirinya kepada ahli waris pemiliknya. Sedangkan jika mukatab tidak sanggup melunasi sisa cicilan pembayaran kemerdekaan dirinya, maka ia menjadi budak dari ahli waris pemiliknya yang telah meninggal dunia tersebut
  3. Pemilik mukatab tidak boleh melarang mukatabnya bepergian atau bekerja, tetapi ia boleh melarang mukatabnya menikah, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهِ فَهُوَ عَاهِرٌ

“Budak manapun yang menikah tanpa seizing pemiliknya, maka ia dihukumi sebagai penzina.”[38]

  1. Pemilik mukatab wanita tidak dibolehkan menggauli mukatabnya, karna perjanjian pelunasan kemerdekaan dirinya membuatnya tidak dapat memanfaatkannya, sedangkan hubungan seksual adalah pemanfaatan yang tidak diperkenankan dengan adanya perjanjian pelunasan kemedekaan budak tersebut. Ini pendapat jumhur ulama.
  2. Jika mukatab tidak mampu melunasi cicilan dari pembayaran kemerdekaan dirinya sampai datang waktu cicilan berikutnya, maka pemiliknya boleh mengembalikannya menjadi budak seperti keadaan sebelumnya, berdasarkan keterangan yang dituturkan Ali: “mukatab tidak dikembalikan menjadi budak sehingga menunggak dua kali pembayaran.”
  3. Anak mukatab wanita dimerdekakan bersama ibunya. Jika ibunya telah melunasi cicilan kemerdekaan dirinya, maka iapun dihukumi telah merdeka. Sedangkan jika ibunya tidak mampu melunasi cicilan pembayaran kemerdekaan dirinya, maka ia dikembalikan menjadi budak lagi termasuk anaknya. Aturan ini berlaku, baik mukatab wanita tersebut hamil pada saat membuat perjanjian kemerdekaan dirinya atau hamil setelah itu. Ini pendapat jumhur ulama.
  4. Jika mukatab tidak mampu melunasi uang cicilan pembayaran kemerdekaan dirinya dan ia mempunyai uang, maka uang tersebut menjadi milik pemiliknya, kecuali jika uang tersebut adalah hasil pemberian zakat, maka uang tersebut harus diberikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin, karna mereka lebih berhak menerimanya daripada pemilik mukatab yang kaya.

Ummu Walad[39]

Pengertian Ummu Walad

 Ummu Walad ialah budak wanita yang digauli pemiliknya dan melahirkan anak darinya, baik laki-laki ataupun perempuan

Hukum menggauli Ummu Walad

 Pemilik budak wanita boleh menggauli budak wanitanya, dan jika budak wanitanya tersebut melahirkan anak, maka ia menjadi ibu dari anaknya tersebut, berdasarkan Firman Allah,

وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفَظُوْنَ(29) إِلاَّ عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”[40]

Juga dikarenakan Rasulullah pun menggauli Mariyah al-Qibthiyah, kemudian ia melahirkan Ibrahim, lalu beliau bersabda,

أَعْتَقَهَا وَلَدُهَا

 “Mariyah dimerdekakan oleh anaknya.”[41]

Nabi Ibrahim juga menggauli Hajar, kemudian ia melahirkan Nabi Ismail

Hikmah menggauli Ummu Walad

Diantara hikmah menggauli budak wanita adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai ungkapan kasih sayang terhadap budak wanita dengan memenuhi kebutuhan syahwatnya
  2. Menjadikannya sebagai Ummu Walad yang akan merdeka dengan kematian pemiliknya
  3. Dengan digauli oleh pemiliknya, maka pemilik budak wanita tersebut akan semakin peduli kepada budak wanitanya itu dengan memperhatikan kebersihannya, pakaiannya, kamar tidurnya, makanannya dan lai-lain
  4. Memberi kemudahan kepada orang Islam, karna bisajadi ia tidak mampu menikahi wanita merdeka, maka ia diberi kemudahan dengan dibolehkan menggauli budak wanitanya untuk meringankannya dan sebagai ungkapan kasih saying terhadapnya.

Beberapa ketentuan hukum tentang Ummu Walad

Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan Ummu Walad adalah sebagai berikut:

  1. Ummu Walad sama seperti budak wanita lainnya dalam hal pelayanannya, hubungan seksualnya, kemerdekaan dirinya, batasan auratnya dan pernikahannya. Akan tetapi Ummu Walad tidak boleh dijual, karna Rasulullah telah melarang penjualan Ummu Walad.[42] Hal itu dikarenakan, bahwa penjualan Ummu Walad  bertentangan dengan kemerdekaan dirinya kelak sepeninggal pemiliknya
  2. Ummu Walad dimerdekakan dengan kematian pemiliknya, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

أَيُّمَا أَمَةٍ وَلَدَتْ مِنْ سَيِّدِهَا فَهِيَ حُرَّةٌ عَنْ دُبُرٍ مِنْهُ

 “Budak wanita manapun yang melahirkan anak dari pemiliknya (tuannya), maka ia dimerdekakan setelah kematian pemilikna (tuannya).”[43]

  1. Budak wanita tetap dihukumi Ummu Walad, meskipun ia mengalami keguguran, jika hal itu terjadi setelah janinnya sempurna penciptaannya dan bentuknya bisa dibedakan, karna Umar berkata, “ Jika budak wanita melahirkan anak dari pemiliknya maka ia dimerdekakan meski mengalami keguguran.”[44]
  2. Tidak ada perbedaan dalam memerdekakan Ummu Walad, apakah ia Muslimah atau kafir. Sebagian ulama berpendapat, bahwa seorang budak wanita yang kafir tidak dimerdekakan, tetapi keumuman dalil menghendaki kemerdekaan budak wanita, baik ia Muslimah atau kafir. Inilah pendapat jumhur ulama
  3. Jika Ummu Walad dimerdekakan setelah kematian pemiliknya, karna Ummu Walad adalah budak sebelum kematian pemiliknya dan seperti diketahui bahwa pendapatan budak itu menjadi milik pemiliknya.
  4. Jika pemilik Ummu Walad meninggal dunia, maka Ummu Walad harus menunggu satu kali haid, karna ia keluar dari kepemilikan pemiliknya dan berubah menjadi wanita merdeka. 

Wala’[45] 

Pengertian Wala’ 

Wala’ adalah kekerabatan karna seseorang memerdekakan budak. Jadi barangsiapa yang memerdekakan budak dengan cara apapun, maka ia menjadi kerabat budak tersebut. Jika budak yang telah dimerdekakannya itu meninggal dunia dan ia tidak memiliki ahli waris dari nasabnya, maka orang yang telah memerdekakannya dan kerabatnya menjadai ahli warisnya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

 “Sesungguhnya wala’ itu adalah milik orang yang memerdekakan.”[46]

Hukum Wala’ 

 Wala’ disyariatkan berdasarkan Firman Allah,

فَإِخْوَانُكُمْ فِيْ الدِّيْنِ وَ مَوَٰلِيْكُمْ

 “Maka (pangillah mereka sebagai ) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.”[47]

 Kemudian sabda Rasulullah ﷺ,

الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

 “wala’ itu adalah milik orang yang memerdekakan.”

Juga sabda Rasulullah ﷺ,

الْوَلاَءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ يُبَاعُ وَ لاَ يُوْهَبُ

 “Wala’ adalah hubungan kekerabatan seperti kekerabatan nasab yang tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.”[48] 

Beberapa Ketentuan Hukum Tentang Wala’ 

 Berikut beberapa ketentuan tentang  Wala’ diantaranya:

  1. Wala’ adalah milik orang yang memerdekakan dengan cara apapun, baik dengan cara mukatab, atau tadbir, atau lainnya
  2. Wala’ tidak boleh dijual atau dihibahkan. Dengan demikian wala’ tidak pindah dari pemiliknya kepada orang lain dengan jual beli atau hibah, karna wala’ itu seperti nasab, sedangkan nasab itu tidak boleh dijual atau dihibahkan, apapun alasannya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah “ , Wala’ adalah hubungan kekerabatan seperti kekerabatan nasab yang tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.”
  3. Tidak boleh mewarisi wala’kecuali orang yang telah memrdekakan budak, baik laki-laki ataupun wanita, dan keluarga laki-laki dari orang yang memerdekakan budak, sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam pembahasan ilmu waris.

Referensi

[1] Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.958 dengan penyesuaian.

[2] Al-Quran Surat an-Nisa’: 36

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, no.1657

[4] Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.959-960

[5] Al-Quran Surat Muhammad: 4

[6] Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.960

[7] Al-Quran surat An-Nisa’ : 36

[8] Diriwayatkan oleh Muslim, no.1661

[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no.1657

[10] Al-Quran surat An-Nur: 33

[11] Al-Quran surat At-taubah:60

[12] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.2522; Muslim, no.1501

[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no.2515 serta al-Hakim, 2/23 dengan sanad yang lemah, Meski sanadnya lemah, akan tetapi jumhur ulama mengamalkan hadits tersebut. Mariyah al-Qibtiyah dimerdekakan setelah melahirkan putranya yaitu Ibrahim putra Rasulullah ﷺ (lihat Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.963)

[14] Diriwayatkan oleh Ahmad, no.5031; Abu Dawud; at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits Shahih

[15] Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, no.3949

[16] Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.964

[17] Al-Quran Surat al-Balad:13

[18] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.6715; Muslim, no.1509

[19] Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.965

[20] Disarikan dari Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.965-967

[21] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.2522; Muslim, no.1501

[22] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.2522; Muslim, no.1501

[23] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.2504; Muslim, no.1503

[24] Disarikan dari Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.967-969 dengan penyesuaian

[25] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.6716 dan Muslim, no.977

[26] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no.1352

[27] Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang shahih adalah budak yang telah ditadbir tidak boleh dijual, kecuali karna dibutuhkan, misalnya untuk membayar hutang dan sejenisnya

[28] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.2504, Muslim, no.1503

[29] Diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dan al-Hakim, 4/244

[30] Diriwayatkan oleh pengarang kitab al-Mughni (lihat Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.968)

[31] Al-Quran Surat: Al-Mu’minun: 6

[32] lihat Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.967-971)

[33] Al-Quran Surat: An-Nur:33

[34] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 15556 dan al-Hakim, 2/99 dengan sanad yang shahih

[35] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3926 serta al-Baihaqi, 10/324 dengan sanad yang baik

[36] Al-Quran Surat: An-Nur:33

[37] Diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni

[38] Diriwayatkan oleh Ahmad, no.13800

[39] lihat Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.972-974)

[40] Al-Quran Surat al-Ma’arij:29-30

[41] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no.2516 dan ad-Daraquthni, 4/131. Hadits ini cacat akan tetapi jumhur ulama mengamalkannya (lihat Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.972)

 [42] Diriwayatkan oleh Imam Malik

[43] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no.2516

[44] Diriwayatkan oleh pengarang al-Mughni

[45] lihat Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri , edisi Indonesia, penerbit: Darul haq, Jakarta, hal.974-975

[46] Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no.2561; Muslim, no.1504

[47] AL-Quran Surat al-Ahzab: 5

[48] Diriwayatkan oleh al-Hakim: 4/379