Doa

Definisi

Menurut bahasa, kata doa (الدعاء) maknanya adalah meminta dan memohon dengan penuh harap, maka dikatakan

دَعَوْتُ اللهَ

Saya berdoa kepada Allah yaitu meminta kebaikan dengan penuh harap kepada-Nya. [1]  Sehingga dikatakan bahwa doa adalah permintaan dengan penuh harap yang dipanjatkan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terkadang kata doa ini dibawa kepada makna pengagungan, pujian dan sejenisnya. [2] Adapula yang mengatakan bahwa doa adalah menampakkan kerendahan hati dan rasa butuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala. [3]

Keutamaan Doa

Doa termasuk ibadah

Doa termasuk ibadah bahkan salah satu ibadah yang paling mulia, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُم ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhan kalian berfirman: “Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagi kalian, sesungguhnya orang yang sombong tidak mau beribadah kepadku akan masuk neraka dalam keadaan hina.” [4]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدُّعاء هو العبادة، قَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Doa itu adalah ibadah, Tuhan kalian berfirman: “Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagi kalian.” [5]

Yaitu bahwa doa itu merupakan ibadah hakiki yang pantas untuk disebut ibadah, di mana pada doa itu seorang hamba menunjukkan butuh dan hajatnya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya serta tidak berharap dan takut kecuali hanya kepada Allah. [6]

Doa merupakan kebiasaan para nabi

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ  رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan bagi orang-orang mukimn pada hari diadakan perhitungan (hari kiamat).” [7]

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam:

وَنُوحًا إِذْ نَادَى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ

“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu, ketika dia berdoa, kami kabulkan doanya, lalu kami selamatkan dia dan pengikutnya dari bencana yang besar.” [8]

Begitu pula firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang Nabi Musa ‘alaihis salam:

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي  وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي  وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي  هَارُونَ أَخِي

Dia (Musa) berkata (berdoa): “Ya Tuhanku lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lepaskanlah kekakuan di lisanku agar mereka memahami ucapanku, dan jadikanlah bagiku pembantu dari keluargaku, yaitu Harun saudaraku.” [9]

Begitu juga halnya firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang Nabi Ayyub ‘alaihis salam:

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ  فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ayyub ketika dia berdoa kepada Rabbnya: “Sungguh aku telah ditimpa penyakit padahal Engkau Maha penyayang di antara semua penyayang. Maka Kami kabulkan doanya lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya padanya da Kami lipatgandakan jumlah mereka sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” [10]

Sifat orang yang bertakwa

Banyak berdoa merupakan salah satu sifat orang-orang yang bertakwa, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Quran:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sungguh mereka (orang-orang bertakwa) selalu bersegera dalam melakukan kebaikan, dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada kami.” [11]

Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar) berdoa: Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman terlebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [12]

Tanda ketegaran dan akan datangnya kemenangan

Doa merupakan sebab datangnya ketegaran, ketabahan serta kemenangan, sebagaimana dalam kisah Thalut dan pasukannya dalam Al-Qur’an tatkala mereka menang atas pasukannya Jalut, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Mereka berdoa: “Wahai Rabb kami tumpahkanlah kami kesabaran dan tegakkanlah kaki-kaki kami dan berilah kami kemenangan atas orang-orang yang zalim ini.” [13]

Allah subhanahu wa ta’ala lantas menyebutkan hasil dari doa mereka itu:

فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ

“Maka dengan izin Allah mereka (Thalut dan tentaranya) mengalahkan mereka (Jalut dan tentaranya) dan Dawud membunuh Jalut.” [14]

Tanda kuatnya seseorang

Selamat dari sifat Al-Ajz (kelemahan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih dari riwayat Abu Hurairah:

أعجز الناس من عجز عن الدعاء، وأبخل الناس من بخل بالسلام

“Orang yang paling lemah adalah orang yang lemah dari memperbanyak doa, dan orang yang paling kikir adalah orang yang pelit untuk mengucap salam.” [15]

Dijamin dikabulkan oleh Allah

Jaminan dikabulkan oleh Allah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُم ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Tuhan kalian berfirman: “Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagi kalian.” [16]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Ini adalah karunia dan kedermawanan Allah subhanahu wa ta’ala, di mana Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan para hambanya untuk berdoa dan menjamin doa hamba itu dikabulkan oleh-Nya.” [17]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا . قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ . قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ

“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa yang tidak berisi dosa dan pemutusan tali silaturrahim melain Allah akan memberikan untuknya dengan sebab doa yang dia panjatakan itu salah satu dari 3 hal ini: disegerakan terwujudnya doa, disimpankan ganjaran o’anya di akhirat atau dihindarkan darinya kejelekan yang semisal dengan doanya itu.” Para sahabat berkata: “Kalau begitu kita perbanyak doa.” Rasulullah lantas bersabda: “Karunia Allah jauh lebih banyak.” [18]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن ربَّكم تبارك وتعالى حييٌّ كريمٌ، يستحيي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صِفرًا

“Sesungguhnya Rabb kalian tabaraka wa ta’ala malu dan maha mulia, malu kepada hamba-Nya tatkala hamba itu mengangkat tangannya kepada-Nya lalu dikembalikan dalam keadaan kosong.” [19]

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: “Setiap orang yang berdoa itu selalu dikabulkan doanya (jika sayarat terpenuhi dan tidak ada penghalang), namaun cara dikabulkannya itu ada banyak macamnya, terkadang apa yang diminta itu yang diberi dan dikabulkan dan kadang diberi pengganti.” [20]

As-Sayukani rahimahullah mengatakan: “Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa doa seorang hamba itu tidak dilalaikan, namun diijabahi dan dikabulkan, terkadang kontan dan terkadang ditunda, ini semua merupakan bentuk kemurahan akan karunia Allah subhanahu wa ta’ala.” [21]

Amalan yang dicintai oleh Allah

Allah murka jika hamba tidak meminta kepada-Nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَن لم يسأَلِ اللهَ، يغضَبْ عليه

“Barangsiapa yang tidak meminta (berdoa) kepada Allah, maka Allah murka kepadanya.” [22]

Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan: “Karena mneinggalkan doa dan permintaan kepada Allah adalah kesombongan dan tanda seseorang tidak butuh dan hal ini tidak boleh dilakukan oleh seorang hamba, penyair mengatakan:

اللهُ يَغْضَبُ إن ترَكْتَ سؤالَه ♦♦♦ وبُنَيُّ آدمَ حين يُسأَلُ يغضَبُ

“Allah subhanahu wa ta’ala murka jika engkau tidak meminta kepada-Nya *** Adapun manusia marah jika banyak dimintai.” [23]

Ibadah yang paling mulia

Tidak ada ibadah yang lebih mulia selain doa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ليس شيءٌ أكرمَ على الله تعالى من الدُّعاء

“Tidak ada sesuatu (ibadah) yang lebih mulia di sisi Allah ta’ala selain doa.” [24]

Sebab dijauhkan mara bahaya

Doa bisa menjadi sebab menjauhnya bala bencana, dalam riwayat yang shahih:

ولا يرد القدر إلا الدعاء

“Tidak ada yang menolak qadar itu kecuali doa.” [25]

Imam As-Syaukani rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Allah mengubah dengan doa apa yang Dia telah takdirkan, tentang masalah ini banyak dalil yang menjadi buktinya.” Beliau juga mengatakan : “Intinya bahwa seseorang itu memanjatkan doa merupakan takdir Allah (Allah yang mentakdirkannya untuk berdoa), sehingga terkadang Allah mentakdirkan kepada seorang hamba suatu takdir dengan mentakdirkan juga bahwa hamba itu akan berdoa, nah,  jika hamba itu berdoa maka takdir tersebut akan berubah.” [26]

Sebab terangkatnya bencana

Doa menjadi penyebab terangkatnya bala bencana setelah bencana itu turun, dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من فتح له منكم باب الدعاء فتحت له أبواب الرحمة، وما سئل الله شيئًا يعطى أحبَّ إليه من أن يسأل العافية، إن الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل، فعليكم عباد الله بالدعاء.

“Barangsiapa yang dibukakan baginya pintu doa maka sungguh ia telah dibukakan baginya pintu-pintu rahmat, dan tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah saat memberi melainkan saat Allah dimintai keselamatan, sungguh doa itu bermanfaat (untuk mengangkat bencana) baik yang sudah turun maupun belum turun, maka wahai hamba Allah hendaknya kalian (banyak-banyak) berdoa.” [27]

Oleh karena itu, selayaknya bagi seorang hamba tatkala ia menemukan pada dirinya semangat untuk berdoa dan bersimpuh kepada-Nya agar ia memperbanyak doa itu, karena ia akan diijabahi dan keperluannya akan terpenuhi dengan rahmat dan karunia-Nya, karena terbukanya pintu rahmat merupakan tanda terbukanya pintu doa. [28]

Oleh karena itu juga dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يغني حذر من قدر، والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل، وإن الدعاء ليلقى البلاء فيعتلجان إلى يوم القيامة

“Tak berguna kehati-hatian di hadapan takdir, dan doa itu berguna dan bermanfaat (untuk bala bencana) yang sudah terjadi atau belum terjadi, dan sesungguhnya doa itu bertemu dengan bala bencana lalu mereka berdua berkelahi sampai hari kiamat.” [29]

Adab-adab Berdoa

Agar doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah terkabul dan diijabahi maka ada beberapa adab penting yang perlu diperhatikan:

Memuji Allah sebelum dan sesudah berdoa

Mengucapkan pujian kepada Allah terlebih dahulu sebelum berdoa dan diakhiri dengan mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّيْ إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِاللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَيَّ ثُمَّ ادْعُهُ قَالَ ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ فَحَمِدَ اللهَ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّهَا الْمُصَلِّي ادْعُ تُجَبْ.

“Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah aku dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdoa. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdoa, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdoalah.’ Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat dia berdoa dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai orang yang tengah berdoa, berdoalah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan doamu.” [30]

Dalam kondisi berwudhu

Hal ini sebagaimana dalam hadits sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dan pulang dari perang Hunain, disebutkan oleh Abu Musa:

…فدعا بماء، فتوضأ، ثم رفع يديه، فقال: اللهم اغفر لعبيد بن عامر، ورأيت بياض إبطيه

“…Lalu beliau mengambil air kemudian beliau berwudhu’, lantas beliau mengangkat tangan beliau kemudian berdoa: “Ya Allah Ampunilah dosa Ubaid bin Amir,” dan saat itu saya melihat putihnya ketiak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [31]

Berbaik sangka kepada Allah

Berbaik sangka (husnuzzan)  kepada Allah, dalam Al-Quran Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ  أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada-mu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa.” [32]

Seseorang yang berdoa hendaknya meyakini bahwa doa yang dipanjatkannya akan dikabulkan oleh Allah dan membuang jauh-jauh persangkaan yang jelek tentang kemungkinan ditolaknya doa yang sedang ia panjatkan, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan engkau merasa yakin akan dikabulkannya doa.” [33]

Bersungguh-sungguh dalam berdoa

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ وَلاَيَقُوْلَنَّ اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ

Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata : “Ya Allah, apabila Engkau berkenan, maka kabulkanlah doaku ini,” karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.” [34]

Berdoa dengan mengulanginya sebanyak tiga kali, hl ini sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim yang panjang dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ رَفَعَ صَوْتَهُ ثُمَّ دَعَا عَلَيْهِمْ وَكَانَ إِذَا دَعَا دَعَا ثَلاَثاً وَإِذَا سَأَلَ سَأَلَ ثَلاَثاً ثُمَّ قَالَ: اَللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ

“Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalatnya, beliau mengeraskan suaranya, kemudian mendoakan kejelekan bagi mereka dan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, beliau ulang sebanyak tiga kali dan apabila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, diulanginya sebanyak tiga kali kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy, Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy, Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy.” [35] [36]

Berdoa dengan lafazh yang singkat dan padat namun maknanya luas

Berdoa dengan lafazh yang singkat dan padat namun maknanya luas yakni memakai lafadz yang singkat namun padat dengan menghindari kalimat-kalimat bersajak yang terkesan dipaksakan, hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia pernah berkata:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai berdoa dengan doa-doa yang singkat dan padat namun makna-nya luas dan tidak berdoa dengan yang selain itu.” [37]

Salah satu contoh dari doa ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Farwah bin Naufal, ia berkata: “Aku bertanya kepada Aisyah tentang doa yang senantiasa dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan doa:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَشَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang telah aku kerjakan dan dari keburukan yang belum aku kerjakan.” [38]

Contoh yang lain adalah hadits Abu Musa Al-Asy’ari, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau senantiasa berdoa dengan doa berikut:

اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِي وَجَهْلِيْ وَإِسْرَافِيْ فِي أَمْرِيْ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، الَلَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ جِدِّيْ وَهَزْلِيْ وَخَطَئِيْ وَعَمْدِيْ وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِيْ، الَلّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas kesalahan-kesalahanku, kebodohanku, serta sikap berlebihanku dalam urusanku dan segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas keseriusanku dan candaku, kekeliruanku dan kesengajaanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas apa-apa yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan, apa-apa yang aku sembunyi-kan dan yang aku tampakkan, serta apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku, Engkaulah Yang Mahamendahulukan (hamba kepada rahmat-Mu) dan Yang Mahamengakhirkan, Engkaulah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.” [39] [40]

Mulai dengan mendoakan diri sendiri

Orang yang berdoa hendaknya memulai dengan mendoakan diri sendiri (jika hendak mendoakan orang lain), sebagaimana firman Allah ta’ala:

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” [12]

Dalam ayat yang lain:

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ

“Musa berdoa: “Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau.” [41]

Firman-Nya yang lain:

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

“Ya Rabb-ku, berikanlah ampun kepadaku dan kedua ayah ibuku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” [42]

Dari Ibnu ‘Abbas dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدًا فَدَعَا لَهُ بَدَأَ بِنَفْسِهِ

Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingat kepada seseorang, maka beliau mendoakannya dan sebelumnya beliau mendahulukan berdoa untuk dirinya sendiri.” [43]

Namun hal tersebut bukan merupakan kebiasaan terus-menerus yang tak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan orang lain tanpa mendoakan dirinya sendiri sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah Hajar:

يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا لَكَانَتْ عَيْناً مَعِيْناً

“Semoga Allah memberikan rahmat kepada Ibu Nabi Isma’il, seandainya beliau membiarkan air Zamzam (mengalir bebas) niscaya ia menjadi mata air yang terus mengalir.” [44]

Tidak boleh putus asa dalam berdoa

Tidak boleh berkata aku sudah berdoa namun tidak terkabul, dari Abu Hurairah radhiaallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الاِسْتِعْجَالُ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِى فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

“Doa seorang hamba akan senantiasa dikabulkan, selama dia berdoa bukan untuk keburukan atau memutus tali silaturahim dan selama dia tidak tergesa-gesa dalam berdoa. Kemudian seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud tergesa-gesa dalam berdoa? Lantas  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu seseorang yang berkata : “Sungguh aku telah berdoa dan berdoa, namun tak juga aku melihat doaku dikabulkan, lalu dia merasa jenuh dan meninggalkan doa tersebut.” [45]

Yang dimaksud di sini adalah ia memutus dan berhenti berdoa, dalam hal ini hendaknya seseorang itu meneladani malaikat, di mana dalam sebuah ayat Al-Qur’an disebutkan:

وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” [46]

Maksudnya adalah malaikat tidak berputus asa dari berdoa. Yang kita bisa ambil contoh adalah kita juga hendaknya terus menerus dalam berdoa dan terus menaruh harapan akan terkabulnya doa itu.” [47]

Menghadirkan hati ketika memanjatkan doa

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” [48]

Mengangkat tangan tatkala berdoa

Dalam hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ.

“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?” [49]

Ada dua cara mengangkat tangan ketika berdoa secara umum yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, yaitu Pertama : mengangkat tangan dengan menjadikan bagian punggung telapak tangan diarahkan ke arah kiblat, sambil berdoa menghadap kiblat, sedangkan bagian dalam telapak tangannya diarahkan ke arah wajah, riwayat cara ini adalah dari contoh doa istisqa’ yang dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua : mengangkat kedua tangan dengan menjadikan bagian dalam telapak tangan dihadapkan ke langit, lantas punggung telapak tangan dihadapkan ke bumi, ada riwayat seperti dari sahabat Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu Sirin. [50]

Waktu-waktu Terkabulnya Doa

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan beberapa waktu tertentu yang apabila dimanfaatkan oleh seorang hamba untuk memanjatkan doa pada waktu-waktu ini maka ijabah dan terkabulnya doa akan selalu menyertai, berikut beberapa waktu yang merupakan waktu terkabulnya doa:

Sepertiga malam terakhir

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَتَنَزَّلُ رَبَّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلُّ لَيْلَةٍ إلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ فَيَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلْنِيْ فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُ نِيْ فَأَغْفِرَلَهُ

“Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu berfirman ; barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya.” [51] [52]

Ketika berpuasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

ثلاث دعوات مستجابات : دعوة الصائم ، و دعوة المظلوم ، و دعوة المسافر

“Ada tiga doa yang dikabulkan : doa orang yang berpuasa, doa orang yang dizalimi dan doa orang yang musafir.” [53]

Di penghujung setiap shalat fardhu

Dari sahabat Abu Umamah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Allah subhanahu wa ta’ala, beliau menjawab.

جَوْفَ اللَّيْلِ اْلآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكتُوْبَاتِ

Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai shalat fardhu.” [54]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Yang zahir makna hadits Abu Umamah tentang akhir shalat maksudnya adalah penghujung shalat sebelum salam.” [55] Pada kesempatan lain beliau (Syaikh Utsaimin rahimahullah) mengatakan: “Orang yang merenungkan masalah ini akan mendapatkan bahwa, apa yang ditakyid (dibatasi) dengan akhir shalat (dalam hadits-hadits yang shahih) jika berupa dzikir maka maksudnya adalah setelah salam, namun jika berupa doa maka maksudnya adalah di penghujung shalat sebelum salam, dengan alasan, Pertama : karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan waktu setelah selesai shalat itu sebagai waktu untuk berdzikir (bukan waktu untuk berdoa), Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ

“Maka jika kalian telah selesai melakukan shalat, berdzikirlah kepada Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring.” [56]

Dan As-Sunnah telah menjelaskan secara gamblang apa yang terlihat umum pada ayat ini, semisal sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ ثَلاثًا وَثَلاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاثًا وَثَلاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاثًا وَثَلاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لا إِلَهَ إِلاّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ.

“Barangsiapa yang bertasbih di akhir setiap shalat (setelah salam) sebanyak 33 kali, mengucapkan tahmid sebanyak 33 kali dan mengucapkan takbir 33 kali, sehingga jumlahnya menjadi 99 serta mengucapkan (zikir ini) agar genap berjumlah 100 : “la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu wa huwa ala kulli syai’in qadiir” maka dosa-dosanya akan diampuni walaupun banyaknya laksana buih di lautan.” [57]

Maka semua dalil yang menyebutkan kalimat dubura kulli shalat (akhir shalat) jika berupa dzikir maka maksudnya adalah setelah selesai shalat setelah salam.  Kedua : karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan waktu setelah tasyahhud sebagai waktu untuk berdoa, maka setiap dalil yang menyebutkan kalimat dubura kulli shalat (akhir shalat) jika berupa doa maka maksudnya adalah setelah tasyahhud akhir sebelum salam, agar doa itu dipanjatkan di waktu yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [58]

Ketika perang sedang berkecamuk

Dari sahabat Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْقَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ عِنْدَ الْبَأْسِ حِيْنَ يَلْتَحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

“Ada dua doa yang tidak tertolak atau jarang tertolak : doa pada saat adzan dan doa tatkala perang berkecamuk. [59]

Satu waktu pada hari Jum’at

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي فَسَأَلَ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ

“Sesungguhnya pada hari Jum’at ada satu saat yang tidak bertepatan seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan diberikan padanya.” [60] [61]

Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan saat atau waktu diijabahnya doa pada hari Jum’at ini, namun sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad [62] bahwa pendapat yang paling terkenal dalam masalah ini ada dua, pendapat pertama yang menyebutkan bahwa waktu atau saat mustajabah pada hari Jum’at itu dimulai dari duduknya imam di atas mimbar untuk berkhutbah hingga selesainya shalat Jum’at dilaksanakan. Pendapat kedua yang lebih rajah dan kuat yaitu pendpat yang mengatakan bahwa waktu mustajab itu jatuh setelah asar, ini merupakan pendapat Abdullah bin Sallam, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan ulama-ulama lainnya. Ada beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini, ada Hadits dari sahabat Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ

“Pada hari Jumat terdapat suatu waktu, dimana jika ada seorang hamba muslim yang memanjatkan doa kepada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, Allah akan memberi apa yang dia minta. Waktu itu adalah seteah asar.” [63]

Hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

“Pada hari jumat ada 12 jam. (Diantaranya ada satu waktu, apabila ada seorang muslim yang memohon kepada Allah di waktu itu, niscaya akan Allah berikan. Carilah waktu itu di penghujung hari setelah asar.” [64]

Hadits dari Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kami menjumpai dalam kitabullah, bahwa di hari jumat ada satu waktu, apabila ada seorang hamba beriman melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, kemudian memohon kepada Allah, maka Allah akan penuhi permohonannya.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadaku, “Itu hanya sebentar?” “Anda benar, hanya sebentar.” Jawab Abdullah bin Sallam. Lantas Abdullah bertanya: “Kapan waktu itu?” Jawab beliau:

هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ

“Itu adalah waktu di penghujung hari.” “Bukankah itu waktu larangan shalat?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

بَلَى ، إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

“Benar, namun ketika seorang hamba melakukan shalat (di awal asar), lalu dia duduk menunggu shalat berikutnya, dia terhitung sedang melakukan shalat.” [65]

Begitu pula riwayat dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

التمسوا الساعة التي ترجى في يوم الجمعة بعد العصر إلى غيبوبة الشمس

“Carilah waktu yang mustajab itu di hari Jumat setelah Ashar hingga matahari tenggelam.” [66]

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan: “Ulama yang lain menguatkan pendapat Abdullah bin Sallam ini (pendapat bahwa saat mustajabah itu adalah setelah shalat Ashar di hari Jumat), Imam At-Tirmidzi menceritakan bahwa Imam Ahmad pernah mengatakan: “Kebanaykan hadits-hadits yang ada menunjukkan demikian (saat mustajabah itu adalah bakda Ashar sampai datang waktu Maghrib.” Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Ini adalah pendapat yang paling kuat dalilnya dalam masalah ini.” Sa’id bin Manshur meriwayatkan dengan sanad yang shahih hingga  Abu Salamah bin Abdirrahman : “Bahwa sekelompok sahabat berkumpul dan mereka berdiskusi tentang kapan waktu mustajabah pada hari Jumat itu, lantas merekapun selesai dari diskusi itu dan mereka tak berbeda pendapat bahwa waktu mustajabah pada hari Jumat itu adalah pada penghujung hari Juma’at.” Peddapat ini juga dikuatkan oleh banyak para ulama semisal Imam Ahmad, Ishaq, juga ulama Malikiyyah semisal At-Turtusyi, begitu juga sebagaimana diceritakan oleh Al-Laka’i bahwa syaikhnya yang bernama Ibnu Az-Zamlakani -salah seorang ulama syafi’iyyah paling terkenal di zamannya- memilih pendapat ini.” [67]

Imam At-Tirmidzi mengutip ucapan Imam Ahmad bin Hambal dalam Sunannya: “Kebanayakan hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa waktu mustajabah itu adalah setelah Ashar.” [68]

Waktu diantara adzan dan iqamah

Berdasarkan riwayat dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَيُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ اْلآذَانِ وَاْلإِقَامَةِ

Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah. [69]

Ketika minum air Zamzam

Minum air Zamzam dengan niat (doa) yang baik, berdasarkan riwayat shahih dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

ماء زمزم لما شُرِبَ له

“Air Zamzam itu sesuai dengan niatnya saat diminum.” [70]

Pada saat sujud dalam shalat

Berdasarkan riwayat dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْافِي الدُّعَاءِ فَقُمَنَّ أَنْ يُسْتَجَابَلَكُمْ

“Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab saat itu sangat pantas untuk dikabulkan.” [71]

Dalam riwayat shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد فأكثروا الدعاء

“Saat paling dekat seorang hamba kepada Rabbnya adalah saat ia sujud, maka perbanyaklah doa (saat itu).” [72]

Pada saat sedang turun hujan

Berdasarkan riwayat shahih dari sahabat Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثِنْتَانِ مَاتُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ الْمَطَرِ

“Dua doa yang tidak pernah ditolak : doa pada waktu adzan dan doa pada waktu turun hujan.” [73]

Karena pada saat hujan turun dari langit teriringi oleh rahmat Allah subhanahu wa ta’ala maka sangat pantas saat seorang hamba memanjatkan doa saat itu untuk dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Satu waktu di malam hari

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

إن في الليل لساعة، لا يوافقها رجل مسلم يسأل الله خيراً من أمر الدنيا والآخرة إلا أعطاه إياه، وذلك كل ليلة

“Sesungguhnya ada satu waktu di malam hari, tidaklah bertepatan dengan seorang muslim yang meminta sesuatu dari urusan dunia maupun akhirat dengan waktu itu melainkan dia akan dikabulkan permintaanya, waktu itu datang setiap malam.” [74]

Pada saat ajal tiba

Berdasarkan riwayat shahih dari shahabiyah Ummu Salamah radiallahu anha bahwa Rasulullah mendatangi rumah Abu Salamah (pada saat Abu Salamah akan wafat), dan beliau mendapatkan kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau memejamkannya seraya bersabda:

إنْ الرُّوْحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَضَجَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَمِنُّوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ

“Sesungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya.” Semua keluarga histeris. Beliau bersabda : “Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali kebaikan, sebab para malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.” [75]

Pada hari Rabu antara Zuhur dan Ashar

Berdasarkan sebuah riwayat yang dianggap hasan dan bisa dijadikan dalil oleh beberapa ulama termasuk Syaikh Al-Albani ahli hadits zaman ini, yaitu riwayat dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

أن النبي -صلى الله عليه وسلم- دعا في مسجد الفتح ثلاثا: يوم الاثنين ويوم الثلاثاء ويوم الأربعاء فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعرف البشر في وجهه. قال: جابر فلم ينزل بي أمر مهم غليظ إلا توخيت تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa di Masjid Al-Fath 3 kali, yaitu pada hari Senin, Selasa dan Rabu, maka doa beliau terkabul pada hari Rabu antara dua shalat (Zuhur dan Ashar), maka terlihat raut kegembiraan pada wajah beliau.” Jabir berkata: “Maka tidaklah suatu urusan yang penting dan genting menimpa saya melainkan saya menunggu saat itu lalu saya berdoa di saat itu dan saya mendapatkan terkabulnya doa saya.” [76]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Hadits ini diamalkan oleh sekelompok sahabat kami, maka mereka mencari dan menunggu untuk berdoa pada waktu tersebut sebagaimana hal ini dinukil dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dan yang dinukil dari Jabir adalah mencari waktu atau zamannya (hari Rabu antara zuhur dan ashar) untuk berdoa agar dikabulkan bukan tempatnya (Masjid Al-Fath).” [77]

Imam Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan: “Jika seorang mau berdoa hendaknya dia mencari waktu, keadaan atau tempat yang mustajab, adapun terkait dengan waktu, maka di antara waktu yang mustajab itu adalah antara zuhur dan ashar hari Rabu.” [78]

Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Sahabat yang mulia (Jabir bin Abdillah) memberi tahu kita bahwa waktu tersebut (antara zuhur dan ashar hari Rabu) memang sengaja dicari sebagai waktu mustajab untuk berdoa, dan tentu orang yang melihat langsung lebih dipercaya dari pada orang yang hanya diceritakan. Jadi seandainya Jabir tidak menceritakan kepada kita bahwa antara zuhur dan ashar hari Rabu itu sengaja dimaksudnkan dan dicari maka kita akan katakan bahwa dikabulkannya doa beliau shlallallahu alaihi wasallam hanya kebetulan saja bertepatan dengan waktu itu, kenyataannya Jabir mengamalkan dan mempraktekkan serta mencari waktu yang dipakai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [79]

Pada malam Lailatul Qadr

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Quran:

إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ . سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qadr. Tahukah engkau Apa Lailatul Qadr itu.  Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” [80]

Imam As-Syaukani rahimahullah berkata bahwa kemuliaan Lailatul Qadar mengharuskan doa setiap orang pasti dikabulkan. [81]

Pada Hari Arafah

Berdasarkan riwayat shahih dari sahabat Amr bin Syu’aib radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُالدُّعَاءِ يَوْمُ عَرَفَةَ

“Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah. [82]

Lainnya

Pada waktu bangun tidur di malam hari bagi orang yang sebelum tidur dalam keadaan suci, dari sahabat Amr bin Anbasah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ بَاتَ عَلَى طُهُوْرٍ ثُمَّ تَعَارُ مِنَ اللَّيْلِ فَسَأَلَ اللَّه مِنْ أَمْرِالدُّنْيَا اَوْ مِنْ أَمْرِ اْلآخِرَةِإِلاَّ أَعْطَاهُ

“Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya. [83]

Penghalang Terkabulnya Doa

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Doa dan permintaan perlindungan kepada Allah itu laksana sebilah pedang, mempannya pedang juga sangat dipengaruhi oleh orang yang memakainya, bukan hanya melihat kepada tajam atau tidaknya pedang itu. Maka pedang itu akan berguna dan mempan di hadapan musuh tatkala pedang itu tajam dan tangan yang memakainya juga kuat serta tidak adanya penghalang, namun jika salah satu dari syarat ini hilang maka pedang itu tak akan mempan dan tak akan berguna.” [84]

Berikut beberapa penghalang terkabulnya doa berdasarkan dalil-dalil yang sebagian besar sudah disebutkan pada bahasan sebelumnya:

Lemahnya doa

Yang dimaksud lemahnya doa yaitu doa yang dipanjatkan terdapat i’tida’ (melampaui batas) atau meremehkan adab-adab dalam berdoa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih:

سيكون قوم يعتدون في الدعاء فإياك أن تكون منهم

“Akan ada sekelompok kaum yang melampaui batasan dalam berdoa, maka hati-hatilah jangan sampai engkau menjadi salah satu dari mereka.” [85]

Melakukan i’tida’ (melampau batas dalam berdoa) dengan berdoa untuk memperoleh sesuatu yang mustahil, semisal berdoa agar dikekalkan di dunia (tidak mati), berdoa dengan permintaan yang isinya maksiat seperti memutus tali silaturrahim, berdoa agar dia segera dimatikan, dan sejenisnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يزال يستجاب للعبد ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم

“Doa itu akan senantiasa dikabulkan selama hamba itu tidak berdoa dengan doa yang isinya dosa dan memutus tali silaturrahim.” [44]

Lemahnya orang yang berdoa

Yang dimaksud lemahnya orang yang berdoa yaitu ketika seorang yang berdoa itu tidak fokus atau terdapat perbuatan yang mencerminkan adab yang jelek kepada Allah semisal mengangkat suara dengan tinggi saat berdoa, atau membuat-buat tangisan yang tidak perlu saat berdoa bahkan lalai dari doa yang dia ucap, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” [48]

Tegesa-gesa serta ingin secepatnya doanya dikabulkan

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الاِسْتِعْجَالُ قَالَ: يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِى فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

“Doa seorang hamba akan senantiasa dikabulkan, selama dia berdoa bukan untuk keburukan atau memutus tali silaturahim dan selama dia tidak tergesa-gesa dalam berdoa. Kemudian seseorang bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud tergesa-gesa dalam berdoa? Lantas  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu seseorang yang berkata : “Sungguh aku telah berdoa dan berdoa, namun tak juga aku melihat doaku dikabulkan, lalu dia merasa jenuh dan meninggalkan doa tersebut.” [86]

Tidak serius berdoa

Ketidakseriusan doa dapat dilihat dari adanya menta’liq (mensyaratkan doa), yaitu mengucapkan : “Ya Allah, kabulkanlah doaku jika Engkau mau dan lafadz yang sejenis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ وَلاَيَقُوْلَنَّ اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata : “Ya Allah, apabila Engkau berkenan, maka kabulkanlah doaku ini,” karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.” [87] [88]

Adanya kemaksiatan dan perkara haram pada dirinya

Bergumul dengan berbagai kemaksiatan, seperti memakan harta yang haram, memakai pakaian yang haram, hati yang tertutupi dengan noda maksiat atau melakukan bid’ah yang dibenci dalam agama.

Referensi

  1. Al-Misbah Al-Muniir, Al-Fayumi, 1/194.
  2. Al-Qamus Al-Fiqhi Lughatan wa Isthilahan, Dr. Sa’di Abu Habib, hlm. 131.
  3. Fathul Baari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 11/98.
  4. QS. Ghafir : 60
  5. HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1329.
  6. Mirqaat Al-Mafaatiih, Al-Harawi, 4/1527.
  7. QS. Ibrahim : 40-41.
  8. QS. Al-Anbiya’ : 76.
  9. QS. Taha : 25-30.
  10. QS. Al-Anbiya’ : 82-84.
  11. QS. Al-Anbiya : 90.
  12. QS. Al-Hasyr: 10.
  13. QS. Al-Baqarah : 250.
  14. QS. Al-Baqarah : 251.
  15. HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 154 dan Shahih Al-Jami’ As-Shagiir no. 1044.
  16. QS. Ghafir: 60.
  17. Tafsir Al-Quran Al-Adhiim, Abul Fida’ Ibn Katsir, 7/153.
  18. HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad no.547.
  19. HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1320.
  20. Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 11/95.
  21. Tuhfah Az-Dzakirin, As-Syaukani, hlm.33.
  22. HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2686.
  23. Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarakfuri, 9/221.
  24. HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2684.
  25. HR. Ahmad, Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ As-Shagiir no.7687 dan As-Shahihah no. 154.
  26. Tuhfah Az-Dzakirin, Muhammad bin Ali As-Syaukani, hlm.29-30.
  27. HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’no. 3409.
  28. Tuhfah Az-Dzakirin, As-Syaukani, hlm.28.
  29. HR. At-Thabrani dalam Al-Austah, Al-Hakim, Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 7739.
  30. HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3988.
  31. HR. Al-Bukhari no.4323 dan Muslim no. 2498.
  32. QS. Al-Baqarah: 186.
  33. HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no.594.
  34. HR. Al-Bukhari no. 6338 dan Muslim no. 2678.
  35. HR. Al-Bukhari no. 240
  36. HR. Muslim no. 1794.
  37. HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no.4949.
  38. HR. Muslim no.2716.
  39. HR. Al-Bukhari no. 6399
  40. HR. Muslim no. 2719.
  41. QS. Al-A’raf : 151.
  42. QS. Ibrahim : 41.
  43. HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 4723.
  44. HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no.1669.
  45. HR. Muslim no.2735.
  46. QS. Al-Anbiya’ : 19.
  47. Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, 17/47.
  48. HR. At-Tirmidzi dan dihasankan Al-Albani dalam As-Shagir no.594.
  49. HR. Muslim no. 1015.
  50. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rajab, 1/271-271.
  51. HR. Al-Bukhari no. 1145
  52. HR. Muslim no. 1261.
  53. Shahih Al-Jami’ As-Shagiir no. 3030.
  54. HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2782.
  55. Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin, 13/268.
  56. QS. An-Nisa : 103.
  57. HR. Muslim no.939.
  58. Majmu’ Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, 13/268.
  59. HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam ta’liq beliau terhadap Al-Misykat no. 672.
  60. HR. Al-Bukhari no. 5295
  61. HR. Muslim no. 852.
  62. Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1/376.
  63. HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Munas Imam Ahmad no.7674.
  64. HR. An-Nasai dan Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai no.1389.
  65. HR. Ibnu Majah, Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah no.1139.
  66. HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no.489.
  67. Fathul Baari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 2/241.
  68. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, 2/360.
  69. HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi dan dishahihkan Al-Albani dalam Tamam Al-Minnah hlm.139.
  70. HR. Ibn Majah, Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 883.
  71. HR. Muslim no.479.
  72. HR. Muslim no.482.
  73. HR. Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 3078.
  74. HR. Muslim no. 757.
  75. HR. Muslim no. 1591
  76. HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Dalam Majma’ Az-Zawa’id nomor hadits:5901 dikatakan: “Sanadnya Ahmad semuanya tsiqah.” Riwayat ini dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.1185, juga dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad no.704.
  77. Iqtidha Shirat Al-Mustaqiim, Ibnu Taimiyyah, 1/433.
  78. Syu’abul Iman, Al-Baihaqi, 2/46.
  79. Syarah Al-Adab Al-Mufrad, Syaikh Husain Al-Awaisyah, 2/380-381.
  80. QS. Al-Qadr : 1-5
  81. Tuhfah Az-Dzakirin, Muhammad bin Ali As-Syaukani, hlm.56.
  82. HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam Ta’liq beliau terhadap kitab Miskaat Al-Mashaabiih no.2598.
  83. HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targib no. 597.
  84. Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm.35.
  85. HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no.1480.
  86. HR. Muslim no. 2735.
  87. HR. Al-Bukhari no. 6338
  88. HR. Muslim no. 2678.