Haji

Haji / Al-Hajj ( ُّالْحَج ) adalah sebuah ibadah kepada Allah dengan menunaikan manasik sesuai dengan ajaran Rasulullah di tempat yang khusus dan di waktu yang telah ditentukan.

Ibadah haji merupakan kewajiban seorang muslim yang mampu melakukannya minimal sekali seumur hidupnya. Demikian pula jika seorang muslim bernazar untuk menunaikan ibadah haji, maka dia wajib berhaji untuk menunaikan nazarnya. Ibadah haji juga merupakan salah satu dari 5 rukun Islam sehingga ibadah ini memiliki kedudukan yang sangat agung. Ibadah haji diwajibkan pada tahun ke-9 hijriah.

Hukum Haji

Ibadah Haji hukumnya wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam.

Dalil dari Al Quran

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. [1]

Dalil dari Hadits

Hadits dari sahabat Abdullah bin Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas 5 (lima) perkara, (1) Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) Mendirikan sholat, (3) Menunaikan zakat, (4) Haji, (5) Puasa Ramadhan.” [2]

Hadits dari sahabat Abu Hurairah beliau berkata,

 

“Rasulullah pernah berkhutbah di hadapan kami dan beliau bersabda, “Wahai manusia! Sesungguhnya telah diwajibkan atas kalian untuk menunaikan haji, maka berhajilah!”. Ada seorang yang bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?”. Nabi pun diam sampai orang ini bertanya 3 kali maka Rasulullah bersabda, “Jika saya katakan ‘ya’ maka akan jadi wajib padahal kalian tidak bisa melakukannya” [3]

Umat Islam juga telah berijmak atas wajibnya mengerjakan ibadah haji bagi seorang muslim yang sudah memenuhi syarat.

Syarat Menunaikan Haji

Ibadah haji diwajibkan bagi orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Muslim

Orang non-muslim (kafir) tidak diperintahkan berhaji. Kalau mereka mengerjakan ibadah haji maka ibadah hajinya tidak sah.

Berakal

Orang gila tidak diperintahkan berhaji. Kalau mereka mengerjakan ibadah haji maka ibadah hajinya tidak sah karena mereka tidak berakal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ ؛ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat dari 3 kelompok manusia: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia bermimpi (baligh -pent), dari orang gila hingga kembali akalnya” [4]

Baligh dan Merdeka

Anak yang belum baligh atau seorang budak tidak wajib mengerjakan ibadah haji. Kalau ada anak yang belum baligh atau seorang budak berhaji, hajinya sah sebagai amalan sunah namun tidak terhitung sebagai haji yang wajib. Mereka wajib mengerjakan haji lagi ketika sudah baligh atau ketika dimerdekakan.

Hajinya sah berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu beliau berkata,

 

“ada seseorang wanita menunjukkan anaknya yang masih kecil di hadapan Nabi dan dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah anak ini boleh mengerjakan ibadah haji?’. Nabi menjawab, ‘Ya, dan Anda pun dapat pahalanya’” [5]

Dia wajib berhaji lagi berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Hapalkan kata-kataku ini, tapi jangan bilang ‘ini kata Ibnu Abbas’: setiap budak yang menunaikan haji kemudian dia dimerdekakan maka wajib berhaji lagi, setiap anak yang menunaikan haji kemudian dia baligh maka wajib berhaji lagi” [6]. Perkataan “tapi jangan bilang ‘ini kata Ibnu Abbas’ menunjukkan bahwa ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mampu

Orang yang mampu berhaji yaitu orang yang sehat, mampu bepergian, mempunyai bekal dan kendaraan untuk berangkat haji dan pulangnya setelah menunaikan kewajiban-kewajiban seperti hutang, nafkah-nafkah syar’i untuk diri dan keluarganya dan dia memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya.

Barangsiapa yang mampu berhaji dengan harta dan badannya, dia harus berhaji sendiri. Barangsiapa yang mampu dengan hartanya tapi tidak mampu dengan badannya (misalnya karena sakit keras, cacat dan lain-lain), maka dia harus menunjuk pengganti yang menggantikannya (badal haji).

Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas beliau berkata,

جَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ، فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ ؟ قَالَ :  نَعَمْ

“Ada seorang wanita yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya haji adalah kewajiban dari Allah kepada hamba-hambaNya. Tetapi bapakku seorang Syaikh yang sudah tua, tidak bisa duduk tegak di atas hewan tunggangannya. Bolehkah aku mengerjakan ibadah haji untuknya?’. Nabi bersabda, ‘Ya, boleh’.” [7]

Hadits ini juga menunjukkan bahwa laki-laki boleh digantikan hajinya dengan wanita dan sebaliknya.

Barangsiapa yang mampu dengan badannya tapi tidak mampu dengan hartanya, maka haji tidak wajib atasnya. Barangsiapa yang tidak mampu dengan harta dan badannya maka kewajiban haji gugur darinya.

Bagi yang tidak memiliki harta, ia boleh menerima zakat untuk berhaji karena haji termasuk kategori fii sabilillah.

Jika orang yang telah wajib haji meninggal dan dia belum berhaji maka sebagian harta peninggalannya disisihkan untuk menghajikannya (badal haji).

Berdasarkan hadits Buraidah bin Hushaib bahwa ada seorang wanita yang ibunya sudah wafat,

قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا

Dia bertanya kepada Nabi, ‘Ibuku belum pernah berhaji, bolehkah aku berhaji untuknya?’. Rasulullah bersabda, ‘Berhajilah untuknya!’ [8]

Adanya mahram safar (untuk wanita)

Perkara ini diperselisihkan oleh para ulama, namun yang lebih kuat bahwa seorang wanita wajib disertai oleh mahramnya dalam melaksanakan safar untuk ibadah haji. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ . فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا، وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ : اخْرُجْ مَعَهَا

“Seorang wanita tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. Laki-laki tidak boleh masuk ke rumah seorang wanita kecuali ada mahramnya”. Ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku ingin mengikuti perang ini dan itu, tapi istriku ingin berhaji?”. Rasulullah bersabda, “Pergilah bersama istrimu!” [9]

Apabila seorang wanita pergi safar berhaji tanpa mahram, maka hajinya sah akan tetapi dia berdosa karena telah melanggar larangan Nabi.

Adapun wanita penduduk Makkah maka dia boleh berhaji bersama rombongan yang aman karena haji bagi penduduk Makkah bukan safar, maka tidak dipersyaratkan harus dengan mahram.

Rukun Haji

Rukun haji adalah perkara-perkara yang wajib dikerjakan oleh orang yang berhaji, tak ada satu perkara pun yang bisa menggantikan perkara tersebut, jika salah satunya tidak dilaksanakan, maka hajinya tidak sah. Rukun haji ada 4 yaitu:

Ihram

Yaitu niat untuk memulai rangkaian ibadah haji. Tanpa niat ini, maka amalannya tidak sah. Dalilnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan” [10]

Wukuf di Arafah

Yaitu kehadiran orang yang berhaji di padang Arafah pada hari Arafah (9 Zulhijjah) dari mulai tergelincirnya matahari 9 Zulhijjah sampai terbitnya fajar di tanggal 10 Zulhijjah.
Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ

“Maka apabila kamu telah bertolak dari padang Arafah” [11]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji itu Arafah” [12]
Imam Ibnul Munzir berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa wukuf di padang Arafah hukumnya wajib, hajinya tidak sah bagi orang yang tidak wukuf di padang Arafah” [13]

Thawaf Ifadhah

Yaitu mengitari Ka’bah sebanyak 7 kali, dimulai dari tiang Hajar Aswad setelah wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah.
Allah Ta’ala berfirman:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [14]
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاضَتْ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَحَابِسَتُنَا هِيَ ؟  فَقُلْتُ : إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَطَافَتْ بِالْبَيْتِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَلْتَنْفِرْ

“Shafiyah binti Huyay mengalami haidh setelah menyelesaikan thawaf Ifadhah ketika Haji Wada’.” Lalu hal tersebut diberitahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda, “Apakah ia akan menghalangi kita (untuk pergi)?”. Aisyah pun menjawab, “Wahai Rasulullah, ia telah thawaf Ifadhah, ia telah thawaf mengelilingi Ka’bah lalu haidh setelah thawaf Ifadhah,”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu kita berangkat.” [15]

Sabda beliau, “Apakah ia akan menghalangi kita (untuk pergi)?” Menunjukkan bahwa thawaf ini harus dikerjakan, thawaf ini dapat menghalangi kepergian orang yang belum melaksanakannya.
Ibnul Qudamah berkata, “Thawaf adalah rukun haji. Haji tidak sah tanpa thawaf. Kami tidak tahu ada ulama yang menyelisihi hal tersebut” [16]

Sa’i

Yaitu berjalan 7 kali antara Shofa dan Marwah. Dimulai dari Shofa dan berakhir di Marwah.
Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّـهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” [17]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, kerjakanlah sa’i karena sesungguhnya sa’i itu telah diwajibkan atas kalian!” [18]
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

 مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يَطُوفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ

“Allah tidak menganggap sempurna haji atau umrah yang dilakukan oleh seseorang jika dia tidak bersa’i antara Shofa dan Marwah.” [19]

Wajib Haji

Wajib Haji (baca: kewajiban dalam haji) yaitu hal-hal yang wajib dikerjakan oleh orang yang menunaikan ibadah haji. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan, maka orang yang berhaji wajib membayar dam berupa hewan sembelihan yang dibagikan kepada fakir miskin di Makkah dan hajinya tetap sah. Kewajiban dalam ibadah haji ada 7 hal:

Berihram dari miqat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ

“Itulah miqat bagi penduduk negeri tersebut dan bagi yang bukan penduduk negeri tersebut yang datang dari arah negeri tersebut bagi yang ingin menunaikan haji atau umroh. Bagi yang berada di dalam miqat tersebut, maka tempat dia mulai dari kediamannya. Untuk penduduk Mekkah maka dimulai dari Mekkah”. [20]

Wuquf di Arafah

Yaitu berdiam diri di Arafah di siang hari sampai terbenamnya matahari di hari Arafah (9 Dzulhijjah). Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir mengenai tata cara haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ, وَذَهَبَتْ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا, حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ

“Beliau terus berwukuf di Arafah sampai matahari terbenam dan cahaya kuning telah menghilang sejenak sampai hilang bundaran matahari.” [21]

Mabit di Muzdalifah

Setelah wukuf di Arafah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak ke Muzdalifah untuk mabit (bermalam) hingga waktu subuh. Beliau memberikan keringanan kepada orang-orang yang lemah, wanita, dan anak-anak untuk tidak bermalam di Muzdalifah dan mereka boleh bertolak ke Mina di akhir malam. [22]

Wajibnya mabit di Muzdalifah ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّـهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam.” [23]

Yang dimaksud “Masy’arilharam” adalah Muzdalifah.

Melempar jumrah

Kewajiban setelah mabit di muzdalifah adalah melempar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Idul Adha) sebelum waktu zhuhur. Kemudian melempar Jumrah di hari-hari tasyriq (11, 12 & 13 Dzulhijjah) setelah waktu zhuhur. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir bin Abdillah, beliau berkata,

رَمَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى، وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melempar jumrah di hari penyembelihan (Idul Adha -pent) pada waktu dhuha. Adapun melempar jumrah setelahnya beliau lakukan jika matahari telah tergelincir (setelah zuhur -pent).” [24]

Mabit di Mina

Selama melepar jumrah tersebut, jam’ah haji diharuskan bermalam di Mina pada hari-hari tasyriq selama 3 malam (10 – 13 Dzulhijjah) bagi yang memilih mutaakhir (nafar tsani) atau 2 malam (10-12 Dzulhijjah) bagi yang memilih muta’ajjil (nafar awal). Hal ini dilakukan berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَاذْكُرُوا اللَّـهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. [25]

Mencukur rambut

Mencukur rambut ini dilakukan ketika tahallul sehingga semua yang terlarang dikerjakan dalam ibadah haji, boleh dikerjakan kembali. Allah Ta’ala berfirman:

لَّقَدْ صَدَقَ اللَّـهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاءَ اللَّـهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut.”  [26]

Dalam ayat tersebut ada 2 (dua) model mencukur rambut, Al-Muhalliq dan Al-Muqashshir. Al-Muhalliq yaitu menggundul rambut hingga habis dan ini yang lebih utama. Sementara itu, Al-Muqashshir yaitu mencukur seluruh rambut namun tidak sampai gundul, ini juga boleh dilakukan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada saat haji wada’

اللَّهُمَّ اغْفِر للمحلِّقينَ. قالوا: يا رسولَ الله، وللمُقصِّرينَ. قال: اللَّهُمَّ اغْفِر للمحلِّقينَ. قالوا: يا رسولَ الله، وللمقصِّرينَ. قال: اللَّهُمَّ اغْفِر للمحلِّقينَ. قالوا: يا رسولَ الله، وللمقصرينَ. قال: وللمقصرين

Ya Allah ampuni orang-orang yang menggundul (rambutnya -pent)”. Para sahabat menimpali, “Yang mencukur ya Rasulullah?”. Nabi bersabda lagi, “Ya Allah ampuni orang-orang yang menggundul (rambutnya -pent)”. Para sahabat menimpali, “Yang mencukur ya Rasulullah?”. Nabi bersabda lagi, “Ya Allah ampuni orang-orang yang menggundul (rambutnya -pent)”. Para sahabat menimpali, “Yang mencukur ya Rasulullah?”, Nabi bersabda, “dan bagi orang-orang yang mencukur pendek (rambutnya -pent)”. [27]

Thawaf Wada’

Thawaf wada’ adalah thawaf perpisahan, thawaf yang dilakukan sebelum meninggalkan Makkah. Berdasarkan hadits dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ

“Manusia diperintahkan untuk mengakhiri masanya di Makkah dengan berthawaf, diberi keringanan untuk tidak melakukannya bagi orang-orang yang haidh.” [28]

Sunnah Haji

Sunnah dalam ibadah haji yaitu segala perbuatan yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang berhaji agar mendapatkan pahala dan balasannya. Meninggalkan hal-hal yang sunnah ini tidak berdosa dan tidak pula menjadikan orang yang berhaji wajib membayar dam kecuali jika dia meninggalkannya karena benci dengan sunnah tersebut, maka dia berdosa karena membenci sunnah Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فمنْ رغِب عَنْ سُنَّتِي فَلَيسَ مِنِّى

“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan dari golonganku” [29]

Hal-hal yang sunah dilakukan ketika berhaji sangat banyak sekali, di antaranya:

  1. Lari-lari kecil ketika thawaf qudum
  2. Idhthiba’ (membuka bahu kanan) ketika thawaf qudum
  3. Mencium atau menyentuh atau berisyarat kepada Hajar Aswad ketika thawaf sembari bertakbir
  4. Menyentuh Rukun Yamani ketika thawaf
  5. Shalat 2 rakaat setelah thawaf
  6. Minum air zam-zam setelah thawaf
  7. Naik ke shafa dan marwah
  8. Berzikir dan berdoa sambil menghadap kiblat ketika di shofa dan marwah
  9. Berjalan cepat antara dua tanda di antara shofa dan marwah
  10. Tinggal di Mina di hari Tarwiyah
  11. Do’a dan mengangkat tangan setelah lempar jumrah pertama dan kedua
  12. Takbir ketika lempar jumroh
  13. Dan lain-lain

Referensi

  1. QS. Ali Imran : 97
  2. HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16
  3. HR. Muslim no. 1337
  4. HR. Abu Daud no. 4403 dengan sanad yang shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim
  5. HR. Al-Bukhari no. 3254 dan Muslim no. 1808
  6. HR Ibnu Abi Syaibah 14875, sanadnya sahih sesuai syarat Imam Al-Bukhari dan Muslim
  7. HR. Al-Bukhari no. 1854 dan Muslim no. 1334
  8. HR. Muslim no. 1149
  9. HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341
  10. HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Khattab
  11. QS. Al-Baqarah : 198
  12. HR. An-Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
  13. Al-Ijma’, 64
  14. QS. Al-Hajj: 29
  15. HR. Al-Bukhari no. 4401 dan Muslim no. 1211
  16. Al-Mughni, 5/311
  17. QS. Al-Baqarah : 158
  18. HR. Daruquthni, 2/255, dihasankan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’
  19. HR. Al-Bukhari no. 1643 dan Muslim no. 1277
  20. HR. Al-Bukhari no. 1845 dan Muslim no. 1181
  21. HR. Muslim no. 1218
  22. HR. Al-Bukhari no. 1676 dan Muslim no. 1295
  23. QS. Al-Baqarah : 198
  24. HR. Muslim no. 1299
  25. QS. Al-Baqarah : 203
  26. QS. Al-Fath : 27
  27. HR. Al-Bukhari no. 1728 dan Muslim no. 1302
  28. HR. Al-Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328
  29. HR. Al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401