Hijrah

Definisi Hijrah

Hijrah secara bahasa diambil dari kata الْهَجْرُ yang bermakna التَّرْكُ artinya meninggalkan.[1] Sedangkan menurut syariat ialah berpindah dari negeri syirik ke negeri Islam, atau dari negeri kemaksiatan ke negeri istiqomah.[2] Negeri syirik yang dimaksud adalah negeri yang di dalamnya ditegakkan syiar-syiar  orang kafir, dan didalamnya tidak ditegakkan syiar-syiar islam seperti, adzan, sholat berjamaah, hari raya islam, dan sholat jumat secara umum dan menyeluruh.[3] Adapun negeri Islam adalah negeri yang di dalamnya ditegakkan syiar-syiar islam secara umum dan menyeluruh.[4]

 Hukum Hijrah

Hijrah hukumnya wajib bagi ummat ini dari negeri syirik menuju negeri Islam dan hijrah tersebut akan tetap ada (berlaku) sampai tegaknya hari kiamat. Hijrah diwajibkan atas setiap orang yang beriman kepada Allah yang tidak mampu menampakkan agamanya di negeri kafir. Maka tidak sempurna islamya jika ia tidak mampu menampakkan syiar-syiar agamanya kecuali dengan berhijrah. Dan kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melaksanakan suatu amalan, maka amalan tersebut juga hukumnya wajib. [5]

Dalil-Dalil Hijrah

 Diantara dalil wajibnya berhijrah dari al-Quran  dan Sunnah adalah sebagai berikut,

Dalil dari Al-Quran

 Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰهُمُ الْمَلَٰئِكَةُ ظَالِمِيۤ أَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوْا كُنَّ مُسْتَضْعَفِيْنَ فِيْ الْأَرْضِ قَالُوْۤا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّٰهِ وٰسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا فَأُلَىٰئِكَ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ وَ سَاۤءَتْ مَصِيْرًا (97) إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ   الرِّجَالِ وَ النِّسَاۤءِ وَ الْوِلْدَٰنِ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَ لاَ يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً (98) فَأُلَىٰئِكَ عَسَى اللّٰهُ  أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَ كَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا (99)                                                                 

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “ Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “ Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “ Bukankah bumi Allah itu luas?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali (97) Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (98) Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.[6]

Didalam ayat ini terdapat terdapat dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berhijrah padahal mereka mampu untuk berhijrah. Kemudian malaikat mewafatkan dan mencela mereka seraya berkata kepada mereka, bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah ??. Adapun orang-orang yang lemah yang tidak mampu berhijrah, maka Allah telah mengampuni mereka karna ketidakmampuan mereka untuk berhijrah dan Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan apa yang dia mampu.[7]

Di dalam ayat yang lain Allah juga berfirman,

يٰعِبَادِى الَّذِيْنَ آمَنُوْۤا إِنَّ أَرْضِى وَاسِعَةٌ فَإِيّٰــى فَاعْبُدُوْنِ

Wahai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas, maka sembahlah aku saja.[8]

Al-Baghawi berkata, Sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang muslim yang ada di Mekkah tidak berhijrah, maka Allah menyeru mereka (untuk berhijrah) atas atas nama iman.[9]

Dalil dari Hadits Nabi

Adapun dalil wajibnya hijrah dari sunnah Nabi  adalah,

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Hijrah tidak akan terputus sampai kesempatan taubat terhenti dan  taubat tidak akan terhenti sampai matahari terbit dari arah barat.[10]

Istilah Hijrah dalam Berbagai Kategori[11]

Istilah hijrah itu masuk dalam berbagai kategori sebagai berikut:

Hijrah pertama

Hijrahnya para sahabat dari Mekkah ke Habasyah. Ketika kaum musyrikin mengganggu Rasulullah, mereka berlari kepada an-Najasyi. Hijrah ini terjadi lima tahun setelah kenabian. Ini dinyatakan oleh al-Baihaqi.

Hijrah kedua

Hijrah dari Mekkah ke Madinah. Ini terjadi 13 tahun setelah masa kenabian. Ketika itu, setiap Muslim di Mekkah wajib berhijrah kepada Rasulullah ke Madinah. Segolongan memutlakkan bahwa hijrah itu wajib dari Mekkah ke Madinah. Ini bukan kemutlakan, karna tidak ada kekhususan untuk Madinah. Dan yang diwajibkan hanyalah berhijrah kepada Rasullah . Ibnu al-Arabi mengatakan, para ulama membagi bepergian di bumi menjadi dua jenis: harab (lari) dan thalab (mencari).

Jenis pertama (harab) terbagi menjadi enam macam yakni:

  1. Keluar dari Darul Harb (negeri kafir yang harus diperangi) ke Darul Islam . Ini tetap berlangsung hingga Hari Kiamat. Sementara hijrah yang telah terputus dengan penaklukan kota Mekkah, dalam sabdanya, لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ (tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah)[12] Ialah berhijrah kepada Rasulullah ditempat keberadaannya.
  2. Keluar dari Negeri bid Ibnu al-Qasim mengatakan, Aku mendengar Malik mengatakan,Tidak halal bagi seorangpun bermukim di negeri dimana salaf dicaci maki.
  3. Keluar dari bumi yang didominasi keharaman. Karna mencari yang halal itu wajib atas setiap Muslim
  4. Menjauhi dari gangguan fisik, dan itu karunia Allah yang memberikan keringanan di dalamnya. Jika seseorang mengkhawatirkan atas dirinya di suatu tempat, maka Allah mengizinkan untuknya keluar darinya dan melarikan diri guna membebaskan dirinya dari perkara yang membahayakan tersebut. Mula-mula orang yang melakukan hal itu adalah Nabi Ibrahim, ketika meninggalkan kaumnya dengan ucapan,

    إِنِّيْ مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّيْۤ

    Sesungguhnya aku akan berpindah (ke tempat yang diperintahkan) Rabbku kepadaku.[13]

     Allah berfirman, mengabarkan tentang Nabi Musa,

    فَخَرَجَ مِنْهَا خَاۤئِفًا يَتَرَقَّبُ 

     Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir.[14]

  5. Keluar karna takut penyakit, dari negeri yang terjangkit penyakit ke negeri yang terbebas penyakit. Nabi mengizinkan orang-orang yang terserang penyakit pada kakinya, ketika mereka terserang wabah penyakit di Madinah, untuk keluar ke padang penggembalaan.
  6. Keluar karna takut terhadap gangguan pada hartanya. Sebab, kehormatan harta seorang Muslim itu seperti kehormatan darahnya.[15]

Adapun Jenis kedua (thalab), pencarian, maka terbagi menjadi beberapa bagian yakni :

  1. Bepergian untuk mendapatkan pelajaran.

    Allah berfirman,

    أَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِيْ الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ

    Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka.[16]

    Dzulqarnain keliling dunia untuk melihat berbagai keajaibannya

  2. Pergi berhaji
  3. Bepergian untuk berjihad
  4. Bepergian untuk mencari penghidupan
  5. Bepergian untuk berdagang dan mencari penghasilan untuk membeli kebutuhan pokok. Ini diperbolehkan berdasarkan Firman Allah,

    لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِّنْ رَّبِّكُمْ 

    Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu. [17]

  6. Menuntut ilmu
  7. Menuju tempat yang dimuliakan. Nabi  ﷺ bersabda,

    لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ

    Tidak boleh meneguhkan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid.[18]

  8. Menuju Perbatasan untuk berjaga-jaga disana
  9. Mengunjungi atau menziarahi saudara – saudara seiman (ikhwan fillah. Rasulullah ﷺ bersabda,

 إِنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِيْ قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللّٰهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا. فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهَ قَالَ: أَيْنَ تُرِيْدُ؟ قَالَ: أُرِيْدُ أَخًا لِيْ فِيْ هَذِهِ الْقَرِيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تُرِيْدُهَا؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّيْ أَحْبَبْتُهُ فِيْ اللّٰهِ عَزَّوَجَلَّ، قَالَ: فَإِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللّٰهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيْهِ

Sesungguhnya seseorang mengunjungi saudaranya di kampong lainnya, maka Allah mengutus seorang Malaikat untuk mengawasinya di tengah perjalanannya. Ketika datang padanya, malaikat itu bertanya, ‘ Hendak kemana kamu?’ Ia mengatakan,’Aku hendak pergi kepada saudaraku di kampung ini?’ Malaikat bertanya, ‘Apakah kamu punya kepentingan yang kamu inginkan padanya?’ Ia menjawab,’Tidak ada, Cuma aku mencintainya karna Allah.” Malaikat mengatakan, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana kemu mencintainya karna Allah.[19]

Hijrah ketiga

Hijrahnya berbagai kabilah kepada Rasulullah untuk belajar syariat, dan kembali kepada kaum mereka untuk mengajarkannya kepada mereka

Hijrah keempat

Hijrahnya orang-orang yang sudah masuk Islam dari penduduk Makkah, mereka datang kepada Nabi kemudian kepada kaumnya.

Hijrah kelima

Hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Tidak halal bagi seorang Muslim tinggal di Negeri kafir. Al-Mawardi mengatakan, Jika dia mempunyai keluarga di sana, dan dia dapat menunjukkan agamanya, maka ia tidak boleh berhijrah (dari negeri kafir tersebut). Karna tempat yang di diaminya menjadi negeri islam

Hijrah keenam

Seseorang Muslim mengucilkan saudaranya lebih dari tiga hari dengan tanpa sebab syari. Ini makruh pada hari ketiga, dan selebihnya haram, kecuali karna suatu dharurat. Diseritakan bahwa seseorang mengucilkan saudaranya selama tiga hari, maka ia menulis bait-bait syair ini kepadanya,

 يَا سَيِّدِيْ عِنْدَكَ لِيْ مَظْلِمَةٌ             فَاسْتَفْتِ فِيْهَا ابْنَ أَبِيْ خَيْثَمَهْ

فَإِنَّهُ يَرْوِيْهِ عَنْ جَدِّهِ                   مَا قَدْ رَوَى الضّحَّاكُ عَنْ عِكْرِمَهْ

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْمُصْطَفَى        أَنَّ نَبِيَّنَا الْمَبْعُوْثِ بِالْمَرْحَمَهْ

صُدُوْدَ الْإِلْفِ عَنْ إِلْفِهِ                 فَوْقَ ثَلاَثٍ رَبُّنَا حَرَّمَهْ

 Wahai tuanku, engkau menzhalimiku

Maka mintalah fatwa berkenaan dengan hal itu kepada Ibnu Khaitsamah

Karna ia meriwayatkannya dari kakeknya

Apa yang diriwayatkan adh-Dhahhak dari Ikrimah

Dari Ibnu Abbas dari al-Mushthafa

Nabi kita yang diutus dengan membawa rahmat

Bahwa kekasih mengucilkan kekasihnya

Lebih dari tiga hari, Rabb kita mengharamkannya

Hijrah ketujuh

Suami meninggalkan istrinya jika terbukti kedurhakaannya. Allaah berfirman,

وَ اهْجُرُوْهُنَّ فِيْ الْمَضَاجِعِ 

Tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka.[20]

Termasuk dalam kategorinya ialah mengucilkan ahli kemaksiatan ditempatnya, tidak melayani pembicaraannya, menjawab salam dan memulainya

Hijrah kedelapan

 Meninggalkan apa yang dilarang Allah. Ini hijrah yang paling umum

Referensi

[1] Lihat Ushul Ats-Tsalatsah hal.129

[2] Ad-Durrah Assalafiyyah Syarhu Arbain Nawawiyyah  yang di syarah  oleh Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Id, Syaikh Abdurrahman as-Sadi dan Syaikh Utsaimin, edisi: Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul haq, hal.6

[3] Lihat Syarh Ushul Ats-Tsalatsah hal.129-130

[4] Lihat Syarh Ushul Ats-Tsalatsah hal.130

[5] Lihat Syarh Ushul Ats-Tsalatsah hal.130

[6] Al-Quran Surat An-Nisa : 97-99

[7] Lihat Syarh Ushul Ats-Tsalatsah hal.130

[8] Al-Quran Surat Al-Ankabut : 56

[9] Lihat Syarh Ushul Ats-Tsalatsah hal.131

[10]  Dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitabul jihad, Bab: dalam hijrah apakah  terhenti, dan dikeluarkan oleh Ahmad:1/192 dan ad-Darimi, kitabus siyar, Bab: Bahwasanya hijrah tidak terhenti dan al-Haitsami dalam Majma Al-Zawaid:5/250 dan dia berkata: diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasai sebagian hadits muawiyah dan diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani dalam al-Ausath wa Ash-Shagir dari selain hadits ibnu Sadi- dan Rijal Ahmad Siqot

[11] Disarikan dari Ad-Durrah Assalafiyyah Syarhu Arbain Nawawiyyah  yang di syarah  oleh Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Id, Syaikh Abdurrahman as-Sadi dan Syaikh Utsaimin, edisi: Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul haq, hal.14-18

[12] Muttafaqun alaih: al-Bukhari, no.2852; dan Muslim, no.1864 (Lihat Ad-Durrah Assalafiyyah Syarhu Arbain Nawawiyyah  yang di syarah  oleh Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Id, Syaikh Abdurrahman as-Sadi dan Syaikh Utsaimin, edisi: Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul haq, hal.14)

[13] Al-Quran Surat Al-Ankabut : 26

[14] Al-Quran Surat Al-Qashash : 21

[15] Lihat Ad-Durrah Assalafiyyah Syarhu Arbain Nawawiyyah  yang di syarah  oleh Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Id, Syaikh Abdurrahman as-Sadi dan Syaikh Utsaimin, edisi: Bahasa Indonesia, Penerbit: Darul haq, hal.14-15

[16] Al-Quran Surat Fathir : 44

[17] Al-Quran Surat Al-Baqarah : 198

[18] Muttafaqun alaih: al-Bukhari, no.1189; dan Muslim, no.1397

[19] HR. Muslim dan selainnya

[20] Al-Quran Surat An-Nisa : 34