Ikhlas

Ikhlas merupakan amalan hati yang sangat penting. Karena ikhlas menjadi pokok dari agama Islam. Di samping itu ikhlas juga menjadi inti sari dan ruh dari ibadah. Maka amalan ibadah yang sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan diterima oleh Allah kecuali apabila dilakukan dengan niat yang ikhlas.

Definisi Ikhlas

Secara bahasa

Secara bahasa, kata ikhlas (إِخْلاَص) berasal dari akar kata yang terbentuk dari huruf khaa (خ) – laam (ل) – dan shaad (ص). Dan akar kata ini memiliki makna pemurnian dan pembersihan. [1]

Dan kata ikhlas merupakan mashdar dari fi’il (kata kerja) akhlasha (أخْلَصَ) yang maknanya menjadikan sesuatu menjadi murni tidak tercampur dengan yang lain. Seseorang yang mengikhlaskan agamanya hanya untuk Allah, maknanya dia menjadikan agamanya murni untuk Allah, tidak mencampurkan seorang pun bersama dengan Allah dalam agamanya. [2]

Secara istilah syar’i

Para ulama telah menyebutkan definisi ikhlas dengan berbagai ungkapan. Di antaranya:

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah mengesakan Al-Haq (Allah) dalam tujuan melakukan ketaatan.” [3] [4]

Al-Jurjani rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah memurnikan hati dari kotoran-kotoran yang mengeruhkan kejernihan hati.” [5]

Beliau juga mengatakan, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi untuk amalanmu selain Allah.” [6]

Ada juga yang mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan antara amalan-amalan seorang hamba secara lahir dan batin”.

Dikatakan juga, “Ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus melihat kepada Al-Khaliq.” [7]

Dari banyaknya definisi ikhlas yang disampaikan para ulama terdahulu; bisa diringkaskan tentang makna ikhlas mencakup tiga hal:

  1. Menjadikan amalan hanya untuk Allah, tidak ada satu bagian pun untuk selain Allah dalam amalan tersebut.
  2. Membersihkan atau memurnikan amalan dari pandangan makhluk.
  3. Membersihkan atau memurnikan amalan dari semua hal yang mengotorinya. [8]

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah hakikat Islam

Karena Islam maknanya adalah kepasrahan hanya kepada Allah semata, tidak kepada selain Allah. Maka barangsiapa yang tidak mau pasrah kepada Allah berarti dia adalah orang yang sombong. Sedangkan orang yang pasrah kepada Allah dan juga kepada yang lain berarti orang yang syirik. Dan kesombongan ataupun syirik, keduanya adalah lawan dari Islam. [9]

Ikhlas menjadi syarat diterimanya amalan

Karena amal yang diterima Allah adalah yang terpenuhi padanya dua syarat; ikhlas dan mutaba’ah (kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan amalan yang tidak terpenuhi kedua syarat tersebut atau salah satunya, maka amalan itu tertolak.

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya apabila suatu amalan itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Dan apabila amalan itu benar namun tidak ikhlas, juga tidak akan diterima. Sampai amalan itu ikhlas dan juga benar. Amalan yang murni adalah yang hanya ditujukan untuk Allah, sedangkan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah (tuntunan).” [10] [11]

Ikhlas menentukan besar kecil nilai suatu amalan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang infak para sahabat,

فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

“Seandainya salah seorang darimu berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai (keutamaan infak) satu mud salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula separuh mud.” [12] [13]

Al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Makna hadits tersebut; kamu dengan infakmu berupa emas sebesar gunung uhud tidak akan mencapai keutamaan dan pahala yang diraih oleh mereka (para sahabat) dengan infak makanan sebesar satu mud atau setengahnya. Dan sebab perbedaan tingkat (keutamaan ini) adalah adanya keikhlasan dan kejujuran niat yang lebih besar yang menyertai amalan yang lebih utama.” [14]

Dalil-dalil Wajibnya Ikhlas

Dalil dari Al-Quran

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” [15]

Allah juga berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّـهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah),” [16]

Dan Allah menyebutkan sifat penduduk surga ketika mereka masih di dunia.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” [17]

Dan banyak lagi ayat lain yang menerangkan tentang ikhlas dan wajibnya ikhlas.

Dalil dari As-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niatnya. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin diraih atau karena wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuannya.” [18] [19]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah tabaaraka wa ta’aalaa berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang pada amalan itu dia menyekutukan sesuatu yang lain bersama dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia bersama dengan sekutunya.” [20]

Dan hadits-hadits lain yang menunjukkan akan wajibnya ikhlas.

Buah dan Faedah Ikhlas

Ikhlas memiliki buah dan faedah yang sangat banyak. Buah keikhlasan ini akan terwujud ketika keikhlasan dalam hati seorang hamba yang mukmin benar-benar terwujud. Di antara buah keikhlasan adalah sebagai berikut: [21]

Diterimanya amalan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni hanya untuk-Nya, dan dicari wajah Allah dengan amalan tersebut.” [22]

Diperolehnya pahala dari amalan yang mubah

Ini merupakan pintu kesempatan yang besar untuk meraih banyak pahala dan kebaikan. Ketika seorang muslim melakukan amalan yang asalnya mubah dan merupakan adat kebiasaan (bukan ibadah yang diperintahkan), namun dia melakukannya dengan ikhlas dan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka dia akan mendapatkan pahala yang besar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإنَّكَ لَنْ تُنفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغي بِهَا وَجهَ اللهِ إلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ في فِيِّ امْرَأَتِكَ

“Tidaklah kamu mengeluarkan suatu nafkah yang kamu cari padanya wajah Allah melainkan kamu akan diberi pahala atasnya. Sampai pun yang kamu berikan pada mulut istrimu.” [23] [24]

Amalan kecil menjadi besar karena ikhlas

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan besar yang menjadi kecil karena niat.” [25]

Diampuninya dosa-dosa

Keikhlasan merupakan salah satu sebab terbesar diampuninya dosa-dosa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Satu jenis amalan terkadang dilakukan oleh seorang manusia dengan keikhlasan dan penghambaan yang sempurna kepada Allah dalam amalan tersebut. Maka dengan sebab itu Allah pun mengampuni dosa-dosa besar yang telah dia lakukan.”

Lalu beliau menyebutkan dalil dari hadits tentang kartu “Laa ilaaha illallah” yang menyelamatkan seorang pemilik sembilan puluh sembilan lembar catatan amal keburukan.

Kemudian beliau berkata, “… maka ini adalah keadaan orang yang mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah dengan ikhlas dan jujur, sebagaimana orang (yang disebutkan dalam hadits) ini mengucapkannya demikian. Karena jika bukan (karena adanya keikhlasan dan kejujuran yang sempurna), para pelaku dosa besar yang masuk neraka pun juga mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, namun kalimat itu tidak bisa mengalahkan dosa-dosa mereka berbeda dengan orang yang disebutkan dalam hadits di atas.” [26]

Mendapatkan perlindungan dari godaan setan

Ketika setan berjanji untuk menyesatkan manusia, dia mengecualikan orang-orang yang ikhlas. Allah berfirman menghikayatkan perkataan setan,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” [27]

Maka setan tidak akan mampu menyesatkan orang yang membentengi diri dengan keikhlasan.

Diselamatkan dari berbagai keburukan dan kesesatan

Seorang yang ikhlas akan diselamatkan dari terjerumus ke dalam kubang syahwat dan perbuatan orang-orang yang fasik. Sebagaimana Allah telah menyelamatkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan sebab keikhlasannya, dari godaan istri pembesar Mesir untuk berzina. Allah berfirman,

كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” [28]

Hilangnya rasa gelisah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang cita-citanya adalah akhirat, niscaya Allah menjadikan rasa cukup ada dalam hatinya, Allah akan menyatukan pikirannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa yang cita-citanya adalah dunia, maka Allah akan menjadikan rasa fakir terus di hadapan matanya, Allah akan mencerai beraikan pikirannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali yang memang telah ditakdirkan untuknya.” [29]

Dilapangkan dari kesusahan dan kesempitan

Sebagaimana yang dikisahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tiga orang yang terkurung dalam gua [30]. Kemudian mereka tidak bisa keluar darinya kecuali setelah mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amalan-amalan yang mereka lakukan dengan ikhlas. Maka keikhlasan mereka dalam amalan-amalan tersebut telah menyelamatkan mereka dari kesusahan dan kesempitan keadaan yang mereka alami.

Mendapatkan syafaat di akhirat [31]

Barangsiapa yang menyempurnakan keikhlasan kepada Allah, maka dia akan berhak mendapatkan syafaat di akhirat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah secara ikhlas dari hatinya.” [32]

Ikhlas menyebabkan persatuan

Ikhlas akan menyebabkan persatuan, berbeda dengan kesyirikan yang akan membuahkan perpecahan. Karena orang-orang yang ikhlas itu sepakat bahwa sesembahan mereka adalah satu, yaitu Allah. Mereka hanya beribadah kepada Allah. Sedangkan para pelaku kesyirikan itu berbeda-beda, masing-masing dari mereka memiliki sesembahan yang mereka sembah selain Allah. [31]

Usaha Meraih Keikhlasan

Ada beberapa hal yang membantu kita untuk meraih keikhlasan. Di antaranya:

Mengetahui keagungan Allah

Yang dituju dalam keikhlasan adalah Allah. Maka apabila seorang hamba mengetahui keagungan Allah dan mengetahui bahwa Dia adalah satu-satunya pemilik kesempurnaan yang mutlak, niscaya dia tidak akan menyekutukan satu makhluk pun kepada Allah. Dan dia akan memurnikan semua ibadahnya hanya untuk Allah saja.

Mengetahui hakikat makhluk yang penuh dengan kekurangan dan tidak akan memberikan sedikit pun manfaat

Keikhlasan akan rusak dan terkotori dengan penserikatan, penyekutuan dan penyetaraan makhluk kepada Allah. Maka apabila seorang hamba mengetahui hakikat sifat makhluk yang penuh dengan kekurangan, yang selalu membutuhkan Allah, dan tidak akan mampu memberikan manfaat sedikit pun kepadanya; niscaya dia akan sadar bahwa makhluk sama sekali tidak pantas dijadikan sekutu bagi Allah. Bahkan dia akan yakin bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan.

Mengetahui banyaknya keutamaan dan buah keikhlasan serta mengetahui bahaya tidak ikhlas

Karena manusia memiliki tabiat akan melakukan suatu amalan yang dia ketahui akan bermanfaat bagi dirinya, dan dia akan meninggalkan amalan yang dia ketahui akan berbahaya bagi dirinya. Maka semakin sempurna ilmu seorang hamba akan manfaat ikhlas dan bahaya dari lawannya, semakin kuat pula dorongan untuk mewujudkan keikhlasan.

Memperbanyak amalan yang tersembunyi

Manusia akan mudah melakukan suatu amalan apabila dia telah terbiasa melakukan amalan tersebut. Dan amal yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh orang lain akan lebih berpotensi mewujudkan keikhlasan. Maka memperbanyak amalan yang tersembunyi merupakan salah satu bentuk latihan dan pembiasaan diri untuk melakukan amalan yang ikhlas.

Mengetahui hakikat kehidupan yang sesungguhnya

Yang dimaksud di sini adalah kehidupan akhirat. Karena kehidupan manusia yang hakiki, yang kekal, dan yang sempurna, adalah kehidupan di akhirat. Itulah kehidupan yang menjadi tujuan akhir kehidupan manusia di dunia. Apabila seorang hamba mengetahui hakikat kehidupan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat, maka dia akan menjadikan seluruh amalannya sebagai bekal menuju kehidupan tersebut. Dan dia tidak akan berpaling dari tujuannya kepada tujuan-tujuan lain.

Menyadari rendahnya dunia

Di antara perusak keikhlasan, adalah keinginan-keinginan manusia untuk meraih dunia. Maka untuk membebaskan diri dari keinginan-keinginan duniawi ini, hendaknya seorang hamba mengetahui dan meyakini hakikat dunia yang rendah dan hina di hadapan Allah. Dan apabila dia mengetahui secara benar tentang kehidupan akhirat, maka dia akan sadar bahwa kehidupan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.

Memohon pertolongan kepada Allah

Dan yang paling utama dalam usaha meraih keikhlasan adalah senantiasa memohon pertolongan kepada Allah. Karena sesungguhnya setiap manusia itu lemah tidak bisa meraih kebaikan yang dia harapkan, kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah. Dan setiap kali shalat, kitan senantiasa mengikrarkan firman Allah,

 إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” [33]

Hal-hal Yang Merusak Keikhlasan

Syirik

Syirik merupakan pokok perkara yang merusak keikhlasan. Karena hakikat ikhlas adalah memurnikan amalan hanya untuk Allah. Sedangkan syirik berarti melakukan amalan tidak secara murni untuk Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah tabaaraka wa ta’aalaa berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang pada amalan itu dia menyekutukan sesuatu yang lain bersama dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia bersama dengan sekutunya.” [20]

Riya

Riya adalah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat oleh manusia sehingga mereka memujinya. [34]

Riya termasuk bentuk kesyirikan, sehingga keberadaan riya dalam ibadah akan merusak keikhlasan seseorang dalam ibadah yang dia lakukan.

Dan riya adalah sifat utama dari orang-orang munafik. Allah berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” [35]

Sum’ah

Sum’ah hampir sama dengan riya. Hanya saja riya terkait dengan indra mata (penglihatan) sedangkan sum’ah terkait dengan indra telinga (pendengaran). Maka makna sum’ah adalah melakukan suatu ibadah, atau menceritakan suatu ibadah agar diketahui orang lain dengan tujuan agar dia mendapatkan pujian.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ الله بِهِ ، وَمَنْ يُرائِي يُرائِي اللهُ بِهِ

“Barangsiapa yang berbuat sum’ah, niscaya Allah akan membongkarnya. Dan barangsiapa berbuat riya, niscaya Allah akan menampakkannya.” [36] [37]

Melakukan ibadah dengan niatan dunia

Allah berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” [38]

Allah juga berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” [39]

Tanda-tanda Keikhlasan

Keikhlasan memiliki tanda-tanda yang nampak pada seorang hamba yang ikhlas. Para ulama telah menyebutkan tanda-tanda tersebut, di antaranya:

  • Tidak mencintai popularitas.
  • Tidak menyukai pujian dan sanjungan manusia.
  • Memiliki semangat untuk melakukan amalan untuk agama.
  • Bersegera melakukan amalan dan mengharap pahala.
  • Sabar dan mau menanggung beban serta tidak mengeluh.
  • Berusaha menyembunyikan amalan.
  • Melakukan amalan sebaik-baiknya dalam kerahasiaan.
  • Memperbanyak amalan dalam kerahasiaan.
  • Memiliki amalan rahasia yang lebih besar dari amalan terang-terangan.

Ini semua adalah tanda-tanda keikhlasan. Hanya saja hendaknya kita berhati hati jangan sampai dengan adanya tanda tersebut kemudian kita merasa diri kita telah ikhlas. Karena barangsiapa yang mempersaksikan dirinya telah ikhlas, maka keikhlasan dia masih memerlukan keikhlasan.

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang ikhlas, dan semoga Dia membersihkan hati-hati kita dan amalan kita dari sifat riya dan nifak. [40]

Referensi

  1. Mu’jam Maqayis Al-Lughah, 2/208.
  2. Al-Ikhlas, Muhammad Shalih Al-Munajjid, hlm. 7.
  3. Madarijus Salikin, 2//91.
  4. Al-Ikhlas, Muhammad Shalih Al-Munajjid, hlm. 9.
  5. Mu’jam At-Ta’rifat, hlm. 14.
  6. Mu’jam At-Ta’rifat, hlm. 15.
  7. Mukhtarat min Madarij as-Salikin, hlm. 64.
  8. Al-Ikhlas, Muhammad Shalih Al-Munajjid, hlm. 10.
  9. Mausu’ah Al-Aqidah wal-Adyan, 1/111.
  10. Al-Hilyah, 8/95.
  11. Mausu’ah Al-Aqidah wal-Adyan, 1/112.
  12. HR. Al-Bukhari no. 3673.
  13. HR. Muslim no. 2541.
  14. Fathul Bari, syarh hadits no. 3673.
  15. QS. Al-Bayyinah: 5.
  16. QS. Al-An’am: 162-163.
  17. QS. Al-Insan: 9.
  18. HR. Al-Bukhari no. 1.
  19. HR. Muslim no. 1907.
  20. HR. Muslim no. 2985.
  21. Al-Ikhlas, Muhammad Shalih Al-Munajjid, hlm. 23-33.
  22. HR. An-Nasa’I no. 3140, dishahihkan Al-Albani.
  23. HR. Al-Bukhari no. 56.
  24. HR. Muslim no. 1628.
  25. Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/13.
  26. Fatawa Ibni Taimiyah, 6/218-221.
  27. QS. Al-Hijr: 40.
  28. QS. Yusuf: 24.
  29. HR. At-Tirmidzi no. 2465, dishahihkan Al-Albani.
  30. Lihat hadits tentang ini dalam Shahih Al-Bukhari no. 2102 dan Shahih Muslim no. 2743.
  31. Mausu’ah Al-Aqidah wal-Adyan, 1/115.
  32. HR. Al-Bukhari no. 99.
  33. QS. Al-Fatihah: 5.
  34. Mausu’ah Al-Aqidah wal-Adyan, 3/1456.
  35. QS. An-Nisa: 142.
  36. HR. Al-Bukhari no. 6499.
  37. HR. Muslim no. 2987.
  38. QS. Asy-Syura: 20.
  39. QS. Al-Isra: 18.
  40. Al-Ikhlas, Muhammad Shalih Al-Munajjid, hlm. 51.
Baca juga: