Ittiba’

Ittiba’ (mengikuti) perintah Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pokok penting dalam agama Islam. Ittiba’ adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amalan. Amalan seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika padanya terwujud (dua syarat); ikhlas kepada Allah dalam niat dan tujuan, dan ittiba’ (mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [1]

Definisi Ittiba’

Secara bahasa

Secara bahasa, kata ittiba’ (اتِّباَع) merupakan mashdar dari kata ittaba’a (اتَّبَعَ) yang memiliki akar kata dari huruf taa, baa dan ‘ain.

Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf taa, baa, dan ‘ain; adalah akar kata yang semua kata turunannya tidak menyimpang dari makna asalnya, yaitu mengikuti. Apabila dikatakan (تَبِعْتُ فُلاَناً) maknanya adalah engkau mengikutinya. Dan dikatakan (أَتْبَعْتُهُ) maknanya adalah engkau menyusulnya.[2]

Kata ittiba’ pada asalnya bermakna mengikuti jejak orang yang berjalan. Kemudian digunakan untuk makna melakukan amalan seperti amalan orang lain, sebagaimana dalam firman Allah,

وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik..” ((QS. At-Taubah: 100.))

Kemudian kata tersebut digunakan untuk makna melaksanakan perintah dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh syariat.[3] [4]

Secara istilah syar’i

Adapun dalam pengertian secara syar’i, makna ittiba’ adalah berpegang teguh dan menerima apa yang ada dalam Al-Kitab dan yang sahih dari Sunnah, melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya.

As-Sam’ani rahimahullah berkata, “Ittiba’ menurut para ulama adalah berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih menurut para ahlinya, para penukilnya, dan para penjaganya, serta tunduk kepada sunnah, dan menerima perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di dalam sunnah. Mengikuti orang yang diperintahkan Allah untuk diikuti. Melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Nya.[5]

Hukum Ittiba’

Allah telah mewajibkan kepada hamba-hamba Nya untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan mereka untuk menaati dan mengikuti perintah beliau. Allah juga memperingatkan mereka dari sikap menyelisihi beliau, durhaka kepada beliau, dan tidak menaati beliau. [6]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah mewajibkan kepada manusia untuk ittiba’ (mengikuti) wahyu-Nya dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman dalam kitab-Nya,

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ((QS. Al-Baqarah: 129.))

Maka Allah menyebutkan Al-Kitab, yaitu Al-Quran. Dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Dan aku mendengar di antara ulama yang memahami Al-Quran mengatakan, Al-Hikmah adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bahwa Allah mewajibkan kepada manusia untuk menaati Rasul-Nya dan mengikuti perintahnya. Maka tidak boleh dikatakan wajib kecuali karena (adanya dasar dari) Kitab Allah kemudian Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [7]

Dalil Wajibnya Ittiba’

Sangat banyak nash dalam Al-Quran maupun dalam As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melarang kita dari menyelisihi tuntunan beliau. Dan hukum asal dari suatu perintah adalah wajib. Terlebih lagi di antara dalil-dalil itu terdapat pula ancaman bagi orang yang menyelisihi dan tidak mau ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menjadi sangat jelas akan wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” ((QS. Al-Hasyr: 7.))

Tentang ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini berlaku umum mencakup pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, yang lahir maupun batin. Dan bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) wajib untuk dipegangi dan diikuti oleh para hamba. Tidak boleh menyelisihinya. Dan bahwa nash Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) atas suatu hukum (kedudukannya) sama dengan nash Allah. Tidak ada rukhshah (keringanan) ataupun udzur sama sekali bagi seorang pun untuk meninggalkannya. Dan tidak boleh pula mendahulukan perkataan seseorang atas perkataan beliau.[8]

Allah berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” ((QS. An-Nur: 63.))

Allah juga berfirman,

مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” ((QS. An-Nisa: 80.))

Allah juga berfirman,

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” ((QS. An-Nur: 54.))

Allah berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ((QS. Ali Imran: 31.))

Allah berfirman,

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” ((QS. Al-An’am: 153.))

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطاً عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ – ثُمَّ قَالَ – هَذِهِ سُبُلٌ – قَالَ يَزِيدُ – مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ. ثُمَّ قَرَأَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat untuk kami sebuah garis lurus kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan Allah”. Lalu beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya seraya berkata, “Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalannya terdapat setan yang menyeru (manusia) kepada jalan tersebut”.

Dan beliau membaca firman Allah

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ

“dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” [9] [10]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ذَرُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ

“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan karena mereka menyelisihi nabi-nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, lakukanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah.[11] [12]

Hakikat Ittiba’

Ittiba’ kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan beberapa hal berikut: [13]

Mencontoh dan meneladani Nabi

Allah berfirman,

 لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” ((QS. Al-Ahzab: 21.))

Menjadikan Sunnah sebagai hakim dan berhukum kepadanya

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ((QS. An-Nisa: 59.))

Ridha terhadap hukum dan syariat Rasulullah

Allah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ((QS. An-Nisa: 65.))

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِىَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً

“Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya. [14]

Berhenti pada batasan-batasan syariat. Tidak menambahi syariat dengan perkara-perkara baru, dan juga tidak mengurangi syariat, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Perbedaan Ittiba’ dengan Taklid

Ittiba’ dan taklid adalah dua hal yang berbeda, baik dari sisi hakikat dan pengertiannya maupun dari sisi hukumnya. [15]

Ittiba’ adalah menerima perkataan orang yang ucapannya adalah hujah, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau dengan kata lain, menerima perkataan seseorang yang disertai penjelasan hujah atas perkataan tersebut. Dan ittiba’ adalah hal yang terpuji secara mutlak, karena ini merupakan fondasi kepasrahan terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun taklid, maka hakikatnya adalah menerima perkataan seseorang tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meminta hujahnya. Hukum asal taklid adalah terlarang. Kecuali bagi orang awam yang tidak mampu memahami makna dalil dan mengambil hukum dari dalil. Atau bagi seseorang yang telah berusaha sungguh-sungguh untuk ittiba’ kepada apa yang Allah turunkan namun masih samar bagi dia sebagian permasalahan sehingga dia taklid kepada orang yang lebih berilmu.

 Ibnu Abdilbarr rahimahullah berkata, “Taklid menurut banyak ulama tidak sama dengan ittiba’. Karena ittiba’ adalah engkau mengikuti (pendapat atau perkataan) seseorang dalam keadaan engkau mengetahui keutamaan perkataan dan kebenaran pendapatnya. Sedangkan taklid adalah engkau berpendapat sebagaimana pendapat orang lain tanpa mengetahui sisi pandang pendapat tersebut, ataupun makna pendapat tersebut, dan engkau enggan dari pendapat yang lain, atau tidak mau mendapatkan kejelasan akan salahnya pendapatmu itu sehingga engkau mengikutinya karena takut menyelisihi padahal engkau tahu rusaknya pendapat tersebut. Yang seperti ini haram dalam agama Allah.[16]

Buah dan Keutamaan Ittiba’

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membuahkan faidah dan keutamaan yang sangat banyak. Di antaranya:

Ittiba’ membuahkan cinta Allah.

Allah berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ((QS. Ali Imran: 31.))

Mendapatkan hidayah dengan ittiba’ dan taat kepada Nabi 

Allah berfirman,

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” ((QS. An-Nur: 54.))

Selamat dari kesesatan dan siksa yang pedih

Allah berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” ((QS. An-Nur: 63.))

Apabila menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diancam dengan fitnah kesesatan dan azab yang pedih, maka mengikuti dan taat kepada beliau merupakan sebab keselamatan dari kesesatan dan siksa yang pedih.

Ittiba’ menjaga dari buruknya perselisihan yang tercela

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اختِلافاً كَثيراً ، فَعَليْكُمْ بسُنَّتِي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيِّنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ؛ فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة

“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin, gigit sunnah itu dengan geraham. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama). Karena sesungguhnya semua bid’ah adalah sesat. [17] [18] [19]

Terwujud keimanan yang sempurna

Allah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ((QS. An-Nisa: 65.))

Referensi

  1. Mausu’ah Al-Aqidah wal Adyan wal Firaq wal Madzahib Al-Mu’ashirah, 1/42.
  2. Mu’jam Maqayis Al-Lughah, 1/362.
  3. At-Tahrir wat Tanwir, ath-Thahir bin Asyur, 7/423-424.
  4. Mausu’ah Al-Aqidah wal Adyan, 1/40.
  5. Al-Intishar li Ash-habil Hadits, Abul Muzhaffar as-Sam’ani, 55.
  6. Mausu’ah Al-Aqidah wal Adyan, 1/41.
  7. Ar-Risalah, asy-Syafi’i, 76-78.
  8. Taisirul Karimir Rahman, hlm. 850.
  9. HR. Ath-Thayalisi no. 244.
  10. HR. Ahmad, 1/435&465.
  11. HR. Al-Bukhari no. 7288.
  12. HR. Muslim no. 1337.
  13. Mausu’ah Al-Aqidah wal Adyan, 1/41-42.
  14. HR. Muslim no. 34.
  15. Mausu’ah Al-Aqidah wal Adyan, 1/44-45.
  16. Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, 2/787.
  17. HR. Abu Dawud no. 4607.
  18. HR. Ibnu Majah no. 43.
  19. HR. At-Tirmidzi no. 2676.