Mahar
Definisi Mahar
Mahar adalah sesuatu yang diberikan calon suami kepada calon istri untuk menghalalkan menikmatinya.[1]
Hukum Mahar
Mahar yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri hukumnya adalah wajib. Hal ini berdasarkan Firman Allah,
وَءَاتُوْا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنّ َنِحْلَةً
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberiab dengan penuh kerelaan.”[2]
Rasulullah ﷺ bersabda,
الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتمًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Carilah mahar meskipun hanya cincin dari besi.”[3]
Sesuatu yang dapat dijadikan sebagai mahar[4]
Sesuatu yang dapat dijadikan sebagi mahar adalah yang memiliki nilai, baik hissiyah (kasat mata) maupun maknawiyyah. Sehingga sesuatu yang dapat dijadikan sebagai mahar adalah diantaranya:
Sesuatu yang memiliki harga dalam jual beli
Yaitu segala sesuatu yang dapat dikuasakan, suci, halal, dapat diambil manfaatnya, dan dapat diterima seperti: uang, benda berharga dan yang semisal. Diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman yang bertanya kepada ‘Aisyah tentang jumlah mahar Rasulullah ﷺ untuk istri-istrinya. ‘Aisyah menjawab,
كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزْوَاجِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوْقِيَّةً وَ نَشًّا قَالَتْ أَتَدْرِيْ مَنْ النَّشُّ قَالَ قُلْتُ لَا قَالَتْ نِصْفُ أُوْقِيَّةٍ فَتِلْكَ خَمْسُ مِائَةِ دِرْهَمٍ فَهَذَا صَدَاقُ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَزْوَاجِهِ
“ Mahar beliau untuk istri-istrinya adalah dua belas Uqiyyah dan Nasy. Tahukah engkau apa itu Nasy?” Abu Salmah menjawab,’Tidak.” Aisyah berkata, (Nasy) adalah setengah Uqiyyah. Sehingga semuanya berjumlah lima ratus dirham. Itulah mahar Rasulullah untuk istri-istrinya.[5]
Upah dari pekerjaan
Setiap pekerjaan yang diperbolehkan meminta upah darinya, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Ini adalah madzhab Syafi’I dan Ahmad. Diantara dalilnya adalah firman Allah yang menceritakan bahwa Nabi Syu’aib menikahkan Nabi Musa dengan salah satu putirnya dengan maharnya berupa bekerja untuknya selama delapan tahun. Allah berfirman,
قَالَ إِنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيّ هٰتَيْنِ عَلىٰۤ أَنْ تَأْجُرَنِيْ ثمَٰنِيْ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ . ..
“ Berkata Syu’aib,” Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu . . .”[6]
Membebaskan hamba sahaya wanita
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik atas dimerdekakannya Shafiyah oleh Rasulullah dengan mahar Shafiyyah di mardekakan.
أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَعْتَقَ صَفِيَّةَ وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا
“ Bahwa Rasulullah memerdekakan Shafiyyah dan beliau menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya.”[7]
Keislaman
Diriwayatkan dari Anas bahwa ,
تَزَوَّجَ أَبُوْ طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الْإِسْلاَم
“ Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim dengan mahar (masuk) islamnya Abu Thalhah.”[8]
Batasan Mahar
Tidak ada batasan minimal mahar. Selama mahar tersebut memiliki nilai – meskipun sedikit- dan calon istri ridha dengannya, maka ia sah dan dapat digunakan sebagai mahar. Ini adalah madzhab Asy-Syafi’I, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Al-Laitsi, Ibnul Musayyab dan selain mereka. Mahar juga tidak memiliki batasan maksimal, karna tidak ada dalil yang membatasinya. Ini merupakan kesepakatan para ulama’. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “ Barangsiapa yang memiliki kelapangan, lalu dia hendak memberikan kepada istrinya mahar yang banyak, maka tidak mengapa melakukan demikian.”[9]
Dan hendaknya tidak terlalu berlebih-lebihan dalam urusan mahar. Umar bin Khatthab pernah berkata, “ Ingatlah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam mahar wanita. Seandainya hal itu merupakan kemuliaan di dunia atau merupakan ketaqwaan di sisi Allah, niscaya Nabi Muhammad adalah orang yang paling berhak melakukannya. Padahal tidaklah Rasulullah memberikan mahar kepada seorang wanita dari istri-istrinya dan tidak pula seorang wanita dari anak-anaknya diberikan mahar lebih dari dua belas uqiyah. Sesungguhnya jika seseorang dibebani mahar (dengan harga yang sangat tinggi) kepada istrinya, niscaya akan muncul rasa permusuhan dalam diri suami (kepada istrinya). Sehingga ia akan berkata,” Engkau telah membebaniku (dengan mahar yang sangat tinggi)” atau ia akan mengatakan,” (Engkau telah melelahkanku dengan mahar sangat tinggi).”[10]
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Shalih Alu Bassam,
أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ تَخْفِيْفُهُ لِلْغَنِيِّ و الْفَقِيْرِ لِمَا فِيْ ذَلِكَ مِنَ الْمَصَالِحِ الْكَثِيْرَةِ
“ Sesungguhnya yang dianjurkan adalah meringankan mahar (baik) bagi orang yang kaya maupun orang yang miskin. Karna yang demikian itu terdapat kemashlahatan yang banyak.”[11]
Berkata Ibnul Qayyim, “ Berlebih lebihan dalam mahar adalah dimakruhkan dalam pernikahan dan termasuk sedikitnya barokah serta menyulitkan pernikahan.”[12]
Beberapa ketentuan hukum tentang mahar[13]
Mahar disunnahkan untuk diringankan
Agama Islam adalah agama yang mudah. Diantara kemudahan agama Islam adalah dianjurkan agar meringankan mahar. Bahkan keberkahan seorang wanita yang dinikahi terletak pada ringannya mahar wanita tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ
أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُ هُنَّ مَؤُوْنَةً
“Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling mudah (ringan) maharnya.”[14]
Dahulu juga mahar dari putri-putri Rasulullah ﷺ cukup ringan, yakni sebesar 400 dirham atau 500 dirham[15] dan mahar istri-istri beliaupun sebesar 400 atau 500 dirham.[16]
Disunnahkan menyebut mahar ketika akad[17]
Mahar boleh dengan barang yang mubah
Mahar diperbolehkan dengan setiap barang yang mubah (dibolehkan) yang harganya lebih dari ¼ (seperempat) dinar, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,
الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتمًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Carilah mahar meskipun hanya cincin dari besi.”[18]
Mahar boleh dibayar kontan atau hutang
Mahar boleh dibayar kontan ketika akad nikah atau ditangguhkan (hutang), atau hanya sebagiannya saja yang ditangguhkan, berdasarkan firman Allah dalam Al- Quran,
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تمَّسُّوْهُنَّ وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua (separuh) dari mahar yang kalian tentukan itu.”[19]
Akan tetapi, sebelum menggauli istrinya disunnahkan memberikan sesuatu kepada istrinya,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَليْهِ وَ سَلَّمَ أَمَرَ عَلِيًّا أَنْ يُعْطِيَ فَاطِمَةَ شَيْئًا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ شَيْءٌ، فَقَالَ: أَيْنَ دِرْعُكَ ؟ فَأَعْطَاهَا دِرْعَهُ
“ Bahwasanya Nabi ﷺ memerintahkan Ali bin Abi Thalib supaya memberikan sesuatu kepada Fathimah sebelum berhubungan badan dengannya. Ali bin Abi Thalib berkata, ‘ Aku tidak mempunyai sesuatu apapun.’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dimanakan baju besimu ?’ Kemudian Ali bin Abi Thalib pun memberikan baju besinya kepada Fathimah.”[20]
Mahar merupakan tanggungan dan kewajiban suami setelah menikah
Mahar merupakan tangguangan suami ketika akad nikah dan merupakan kewajiban ketika suami telah menggaulinya. Jika seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya, maka separuh mahar dianggap gugur darinya dan ia hanya berkewajiban membayar separuhnya lagi, berdasarkan firman Allah,
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تمَّسُّوْهُنَّ وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ “jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua (separuh) dari mahar yang kalian tentukan itu.”[21]
Istri berhak mewarisi harta suami setelah suami meninggal dunia jika telah terjadi akad
Jika suami meninggal dunia sebelum dia menggauli istrinya dan setelah akad, maka istri berhak mewarisinya serta berhak mendapatkan mahar secara utuh, sebagaimana hal ini telah ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ.[22] Hal ini berlaku jika maharnya telah ditentukan. Tetapi jika maharnya belum ditentukan, maka istri berhak mendapatkan mahar sebesar mahar wanita yang sederajat dengannya, lalu menjalani masa iddah setelahnya.[23]
Hal-hal yang menggugurkan mahar bagi seorang wanita[24]
Berikut diantara hal-hal yang dapat menggugurkan mahar seseorang antara lain:
- Terjadi perceraian dari pihak istri sebelum jima’.
- Terjadi Khulu’ yakni perceraian antara suami dan istri dengan tebusan yang diberikan oleh istri kepada suaminya. Sebagaimana dahulu pernah terjadi pada Istri Tsabit bin Qais.[25]
- Ibra’ (istri menggugurkan hak maharnya)
- Istri yang menghibahkan seluruh mahar untuk suaminya
Referensi
[1] Minhajul Muslim, hal. 752
[2] Al-Quran Surat An-Nisa’ :4
[3] Muttafaqun ‘alaih; Al-Bukhari, no.5121; Muslim, no.1425
[4] Lihat Ensiklopedia Fiqih Islam, hal. 774-775
[5] HR.Muslim (2/1426)
[6] Al-quran Surat Al-Qoshah: 27
[7] HR. AL-Bukhari (5/4798), lafadznya ini miliknya dan Muslim (2/1365)
[8] HR. Nasai (6/3340)
[9] Majmu’ Fatawa, 26/334 (Lihat Ensiklopedia Fiqih Islam, hal. 776)
[10] HR.Tirmidzi (3/1114, Abu Dawud:2106 dan Ibnu Majah:1887, Lafadz ini miliknya. Hadits ini dishahihkan oleh Syakh Al-Albani dalam shahih Ibni Majah:1532 (Lihat Ensiklopedia Fiqih Islam, hal. 776)
[11] Taisiirul ‘Allam Syarhu Umdatil Ahkam (Lihat Ensiklopedia Fiqih Islam, hal. 776)
[12] Zaadul Ma’ad, 5/178
[13] Lihat minhajul muslim:752-754
[14] Diriwayatkan oleh Ahmad, no.24595; al-Hakim, 2/194 ; dan al-Baihaqi, 7/235 dengan sanad yang shahih
[15] Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan ; Abu Dawud, no.2107; an-Nasai, no.3349; Ibnu Majah, no.1887 dan at-Tirmidzi no.1114 menshahihhkannya
[16] Diriwayatkan oleh Muslim, no.142
[17] Minhajul Muslim:753
[18] Muttafaqun ‘alaih; Al-Bukhari, no.5121; Muslim, no.1425
[19] Al-Quran surat AL-Baqarah :237
[20] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, no.2125 dan an-Nasa’I, no. 3376
[21] Al-Quran surat AL-Baqarah :237
[22] Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan : Abu Dawud, no.2114; an-Nasa’I, no.3353; Ibnu Majah, no.1891 dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi, no.1145, yaitu, Nabi ﷺ memutuskan untuk Barwa’ bin Wasi’ ketikam suaminya meninggal dan belum menyebutkan maharnya bahwa dia mendapatkan mahar seperti wanita yang sederajat dengannya
[23] Minhajul Muslim:754
[24] Lihat Ensiklopedia Fiqih Islam, hal.782
[25] Lihat hadits tentang khulu’ ini pada HR. Bukhari (5/4973) (Lihat Ensiklopedia Fiqih Islam, hal.855)