Marah
Definisi marah, marah adalah sifat yang harus diwaspadai, keutamaan menahan marah, kiat meredam marah, marah yang terpuji, dan nasehat tentang marah.
Definisi
Marah adalah sebuah sifat atau ekspresi yang muncul ketika seorang manusia merasa terganggu atau tersakiti, hatinya merasa ingin membalas dan berontak, yang kemudian diekspresikan oleh wajahnya, dan ia ingin melampiaskan isi hatinya itu dengan lisan ataupun anggota badannya. Kurang lebih demikianlah yang kita rasakan sebagai seorang manusia ketika marah, dan marah merupakan salah satu tabiat manusia yang dibawa sejak lahir.
Marah Adalah Sifat yang Harus Diwaspadai
Sebagai seorang muslim, hendaknya kita memahami bagaimanakah sikap kita ketika marah, karena marah yang tidak dikendalikan dengan baik saat muncul, bisa mengarah kepada perbuatan dosa dan keburukan atau bahkan kebinasaan. Oleh karena itulah tak jarang, orang yang melampiaskan marahnya kemudian menyesal setelah kemarahannya itu hilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: أَوْصِنِيْ، قَالَ: لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Janganlah kau marah!” Orang itu pun mengulang-ulangi permintaannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabda: “Jangan marah!” (HR. Bukhari 6116)
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini laki-laki tersebut mengulangi permintaannya beberapa kali, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengulang-ulangi wasiat beliau, ini menunjukkan bahwa marah itu mengumpulkan keburukan, sedangkan menjaga diri dari marah itu mengumpulkan kebaikan. (Jami’ul Ulum wal Hikam 1/362)
Demikian pula di antara wasiat para ulama mereka mengatakan: “Jauhilah marah, karena sesungguhnya marah itu bisa merusak iman sebagaimana air perasan pohon yang pahit merusak madu, dan marah itu adalah musuh bagi akal.” (Mukhtashar Minhajil Qasidin 225)
Ja’far bin Muhammad rahimahullah berkata: “Marah adalah kunci dari segala keburukan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 1/363)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam rahimahullah menjelaskan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Makna ‘janganlah marah’ ada dua: pertama yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan orang tersebut untuk melakukan sebab-sebab yang mengharuskannya berakhlak baik, berupa kelemahlembutan, tidak tergesa-gesa, rasa malu, menahan diri, mencegah keburukan, memaklumi, memaafkan, menahan amarah dan semisalnya, karena sesungguhnya jiwa itu apabila berperilaku dengan akhlak-akhlak ini dan menjadikannya kebiasaan, maka dengannya akan tercegahlah kemarahan ketika muncul sebab-sebabnya. Yang kedua yaitu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadanya agar tidak melakukan konsekuensi marah ketika muncul, bahkan lawanlah dirinya untuk meninggalkan pelampiasannya dan meninggalkan kehendak kemarahan itu, karena sesungguhnya marah itu ketika menguasai anak Adam, maka marah itulah yang akan mengendalikan dirinya dalam berbuat dan meninggalkan sesuatu.” (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram 302)
Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sama dengan pesan beliau kepada sahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu ketika ia bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku sebuah amal yang bisa memasukkanku ke dalam surga!” Beliau pun menjawab:
لَا تَغْضَبْ، وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Jangan marah, maka bagimu surga.” (HR. ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath 2353 dinyatakan shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2749)
Keutamaan Menahan Marah
Ketika kita telah mengetahui bahwa marah adalah sebuah sifat yang harus diwaspadai, maka ada banyak keutamaan menahan marah yang bisa menjadi motivasi bagi kita agar kita berakhlak dengan akhlak yang mulia ini, berikut ini di antaranya:
-
Termasuk ciri orang bertakwa yang dijanjikan surga
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu meraih ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit, yang menahan amarahnya, dan yang memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran [3]: 133-134)
-
Mendapatkan bidadari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu melampiaskannya, maka Allah ‘azza wa jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat kelak, kemudian Allah mempersilahkannya untuk memilih di antara bidadari yang ia sukai.” (HR. Abu Dawud 4777, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2753)
-
Menjadi orang kuat yang sesungguhnya
Upaya meredam amarah bukanlah hal yang mudah, butuh kekuatan iman dan kesabaran yang tinggi, oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat itu sekedar yang mampu memenangkan gulat, tapi orang kuat yang sejati itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609)
-
Menjadi orang yang sabar
Ketika seseorang berusaha menjadi orang yang sabar dengan berusaha menahan marahnya, maka Allah akan menjadikannya orang yang sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Siapa yang berusaha berlatih menjadi orang yang sabar, maka Allah akan menjadikannya orang yang sabar. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas dibanding kesabaran.” (HR. Bukhari 1469)
-
Mendatangkan keridhaan Allah
Bahkan seseorang yang bisa menahan marah ketika muncul sebab-sebabnya -termasuk ketika mendapat musibah- maka akan mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Maka barangsiapa ridha; Allah pun meridhainya, dan barangsiapa marah; maka Allah pun murka kepada-Nya.” (HR. at-Tirmidzi 2396 dan Ibnu Majah 4031, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 3407)
-
Termasuk pokok akhlak yang baik
Dari Imam Abu Amr Ibnu Shalah, dari Abu Muhammad Ibnu Abi Zaid al-Qairawani Imam Madzhab Malikiyah di zamannya, beliau pernah mengatakan:
“Yang mengumpulkan adab-adab kebaikan serta yang menjadi pengikatnya itu bersumber dari empat hadits: (1) Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.’ (2) Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Merupakan tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.’ (3) Sabda Nabi kepada orang yang meminta wasiat ringkas kepada beliau: ‘Janganlah kamu marah.’ (4) Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Seorang mukmin itu mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya.’ (Jami’ul Ulum wal Hikam 1/288)
Pernah dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah: “Jadikanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Maka beliau menjawab: “Meninggalkan marah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 1/363)
Kiat Meredam Marah
Berikut ini beberapa kiat yang semoga bisa membantu kita untuk meredam marah ketika muncul sebab-sebabnya:
-
Meyakini apa yang terjadi pada kita adalah Takdir Allah ta’ala
Ketika kita marah, hendaklah kita mengingat bahwa apapun penyebab kemarahan kita, itu adalah sebuah takdir yang telah Allah tetapkan yang tidak akan bisa ditolak. Sehingga kita lebih menganggapnya sebagai sebuah ujian hidup, yang apabila kita bisa menyikapinya dengan baik dan bersabar maka akan berbuah pahala yang banyak.
-
Diam dan tidak tergesa-gesa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Apabila seseorang di antara kalian marah maka diamlah.” (HR. Ahmad 2136, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir 4027)
Diam ketika marah baik lisan ataupun anggota badan, akan menghindarkan seseorang dari kata-kata dan perbuatan yang bisa berakibat buruk, sehingga dengan diam seseorang akan selamat dari berbagai macam keburukan akibat kemarahannya. Demikian pula hendaknya kita tidak tergesa-gesa dalam bertindak, dan lebih memilih untuk bersikap sabar dan menenangkan diri, karena hal itu juga akan menghindarkan kita dari keputusan yang belum matang dan keliru. Bahkan sikap tidak tergesa-gesa dalam bertindak merupakan sifat orang-orang yang cerdas dan berhati-hati, dan sebaliknya justru ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأَنَاةُ مِنَ اللهِ وَالعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sikap berhati-hati itu berasal dari Allah, sedangkan sikap tergesa-gesa itu berasal dari setan.” (HR. at-Tirmidzi 2012, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 1572)
-
Mengingat kerusakan marah
Hendaknya ketika kita marah segeralah untuk mengingat akibat buruk dari melampiaskan amarah. Cukuplah bagi kita pelajaran tentang betapa banyak orang yang menyesal setelah melampiaskan kemarahannya. Ada yang kelewatan mencerai istrinya, memukul orang bahkan membunuhnya, merusak barang milik orang lain, merusak hubungan persaudaraan dan pertemanan, serta keburukan lainnya. Ketika hal ini terjadi, biasanya seseorang baru tersadar dengan kesalahan dan ketergesa-gesaannya itu setelah marahnya meredam. Akhirnya ia pun benar-benar menyesal.
-
Mengingat keutamaan menahan marah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa marah adalah sumber dari berbagai macam keburukan, maka menahan marah adalah sumber dari banyak kebaikan dan mencegah dari banyak keburukan, bahkan di akhirat kelak dijanjikan oleh Allah dengan bidadari surga. Dengan mengingat keutamaan ini maka akan terkikislah perasaan marah itu.
-
Berdoa minta perlindungan kepada Allah dari setan
Suatu ketika pernah ada dua orang yang bertengkar di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian salah satunya marah dan mencela temannya dengan wajah yang merah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Sungguh aku mengetahui ada sebuah kalimat yang apabila ia mengucapkannya niscaya akan hilanglah kemarahannya.” Kalaulah dia mengucapkan “A’uudzubillaahi minasy syaithaanirrajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).” (HR. Bukhari 6115 dan Muslim 2610)
-
Mengubah posisi
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَنَا: إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Apabila kalian marah sedangkan ia sedang berdiri maka hendaklah ia duduk, bila marahnya telah hilang (maka Alhamdulillah –penj.), namun bila marahnya belum hilang maka berbaringlah.” (HR. Abu Dawud 4784 dan Ahmad 21348 dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir 694)
Maknanya bahwa orang yang berdiri adalah bentuk bersiap-siap untuk membalas dendam, adapun duduk maka ia bentuk kurangnya persiapan untuk membalas dendam, adapun berbaring adalah bentuk posisi paling jauh dari kemungkinan untuk membalas dendam. Yang jelas perkaranya adalah menjauhi keinginan untuk membalas dendam. (Jami’ul Ulum wal Hikam 365)
-
Menjauh dari tempat kejadian
Seorang yang marah apabila tetap di tempatnya, biasanya ia akan selalu memikirkan bagaimana melampiaskan kemarahannya, karena ia masih melihat bekas-bekas penyebab kemarahannya itu. Maka hendaknya seorang yang marah untuk menjauh dari tempat kemarahannya, sehingga akan teralihkan perhatiannya pada tempat dan suasana yang baru. Dengan hal ini diharapkan ia akan segera melupakan kemarahannya tersebut.
Tentang hal ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Banyak orang melakukan hal ini, yaitu ketika seseorang marah diapun keluar dari rumahnya, sehingga tidak terjadi sesuatu yang akan ia benci setelah kemarahannya reda.” (Syarh Riyadush Shalihin hal. 208)
Marah yang Terpuji
Tidak semua marah itu adalah buruk, ada juga marah yang terpuji, yaitu marah karena Allah, marah yang muncul ketika syariat Allah di langgar, dicela atau dihinakan. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan yang terbaik bagi kita.
وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا
“Tidaklah beliau membalas karena dirinya, kecuali apabila kehormatan Allah subhanahu wa ta’ala dilanggar, maka beliau marah karenanya.” (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327)
Inilah marah yang baik, yaitu marah karena Allah ta’ala, marah ketika syari’at Islam dilanggar, bahkan oleh dirinya sendiri. Dengan rasa kemarahan inilah seorang muslim akan terdorong untuk meninggalkan maksiat dan mengingkari sebuah perbuatan dosa. Bahkan ia akan termotivasi untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi hendaknya seorang muslim ketika beramar ma’ruf nahi munkar terhadap saudaranya agar melandasinya dengan rasa belas kasihan padanya, yaitu rasa tidak tega apabila saudara kita itu jatuh ke dalam siksa Allah ‘azza wa jalla. Sehingga perasaan seperti ini akan membawa kepada sikap hikmah dalam berdakwah dan tetap dalam koridor yang telah diatur oleh Islam dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Sehingga marah yang terpuji ini juga perlu dikontrol dan dikendalikan dengan baik, agar tidak menimbulkan sesuatu yang berakibat buruk.
Nasehat Tentang Marah
Sampai di sini, kita akhiri pembahasan ini dengan menyimak nasehat dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya agama Islam melarang dari akhlak-akhlak yang buruk, berdasarkan hadits ‘Janganlah engkau marah’. Sedangkan larangan dari akhlak yang buruk mengharuskan perintah untuk berakhlak baik, maka biasakanlah dirimu untuk bersabar menahan diri dan tidak marah. Sungguh dahulu pernah ada seorang pedalaman Arab menarik selendang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menimbulkan bekas di leher beliau, tetapi kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menoleh kepadanya dan tertawa (HR. Bukhari 6088 dan Muslim 1057). Padahal kalau seandainya ada seseorang yang melakukan hal ini kepada orang lain pasti minimalnya ia akan marah kepadanya. Maka hendaknya engkau untuk bersabar sebisa mungkin, hingga hatimu pun merasa santai, dan engkau pun bisa menjauh dari penyakit yang membawa bencana karena sebab marah, seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan yang semisalnya. Allahul Musta’an.” (Syarh Riyadush Shalihin hal. 208)
Demikian, semoga Allah ‘azza wa jalla memudahkan kita dalam menahan marah, dan mengaruniakan kepada kita akhlak yang baik serta menjauhkan kita dari akhlak yang buruk.