Masa Iddah

Definisi Masa Iddah

Secara bahasa, iddah (العِدَّة) bermakna menghitung, atau sesuatu yang dihitung. Diambil dari kata al-‘add (العَدّ) yang maknanya menghitung. Di antara penggunaan kata ini adalah dalam firman Allah,

فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [1]

Yaitu sebanyak bilangan hari yang terluput darinya pada bulan Ramadan.

Dan iddah-nya seorang wanita adalah batasan waktu yang apabila telah berakhir maka boleh baginya untuk menikah. Kata ini juga diambil dari kata al-‘add (العَدّ) karena mengandung makna hitungan masa quru’ (masa haid) dan bulan-bulan. [2] [3] [4] [5]

Adapun secara syariat, maka yang dimaksud dengan masa iddah adalah; masa menunggunya seorang wanita selama rentang waktu yang telah ditentukan secara syariat dengan sebab berpisah dari tali pernikahan atau karena kematian suaminya. [6]

Dalil Adanya Syariat Masa Iddah

Dalil dari Al-Quran, Alah berfirman,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” [7]

Dari As-Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keterangan kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha yang telah ditalak suaminya dengan talak tiga, dengan sabdanya,

لَيْسَتْ لَهَا نَفَقَةٌ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ

“Dia tidak berhak mendapat nafkah, dan dia wajib menunggu masa iddahnya habis. [8]

Dan banyak para ulama ahli fikih yang telah menukilkan ijmak (kesepakatan para ulama) atas disyariatkannya masa iddah. [9]

Hikmah Adanya Syariat Masa Iddah

Makna terpenting yang nampak dari disyariatkannya masa iddah adalah untuk membersihkan rahim seorang wanita. Untuk menegaskan apakah wanita tersebut hamil atau tidak, sehingga tidak terjadi percampuran nasab.

Di samping itu, masa iddah juga diberlakukan untuk memberikan kesempatan bagi seorang suami untuk mengintrospeksi diri apabila dia ingin tetap mempertahankan istri yang telah dicerainya dengan talak raj’i.

Demikian pula pada syariat masa iddah ini terdapat makna pengagungan terhadap tali pernikahan, dimuliakannya akad nikah, dan sikap hati-hati terhadap hak suami, kemaslahatan istri, hak anak dan juga untuk menegakkan hak Allah yang telah Dia wajibkan. [10] 

Syarat Berlakunya Masa Iddah

Adanya masa iddah disyaratkan beberapa hal berikut. [11] 

Terjadinya perpisahan antara seorang wanita dengan suaminya, baik karena perceraian, khuluk, fasakh, atau karena meninggalnya suami.

Telah terjadi hubungan badan dengan suaminya sebelum perpisahan itu terjadi. Atau paling tidak telah terjadi khalwat (berdua-duaan) antara suami istri yang memungkinkan keduanya melakukan hubungan badan. Syarat ini berlaku selain pada wanita yang ditinggal mati suaminya.

Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak ada iddah bagi wanita tersebut. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” [12]

Suaminya adalah orang yang telah baligh, atau telah memungkinkan untuk memiliki anak.

Wanita tersebut telah baligh, atau wanita yang telah memungkinkan untuk dicampuri. Apabila wanita tersebut belum memungkinkan untuk dicampuri, seperti wanita yang berumur kurang dari sembilan tahun, maka tidak ada masa iddah baginya, karena telah jelas baginya bahwa rahimnya masih bersih.

Macam-macam Masa Iddah

Masa iddah antara satu wanita dengan yang lain berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang menyertainya ketika berpisah dengan suami.

Wanita Hamil

Masa iddah wanita hamil adalah sampai dia melahirkan anak atau janin yang ada dalam kandungannya. Masa iddah ini berlaku bagi wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya, baik wanita merdeka maupun budak. Allah berfirman,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [13]

Wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil

Masa iddah wanita ini adalah empat bulan sepuluh hari. Berdasarkan firman Allah,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” [14]

Dan ini berlaku secara umum pada wanita merdeka yang ditinggal mati suaminya, baik wanita itu telah digauli sebelumnya atau belum pernah digauli sama sekali oleh suaminya yang meninggal dunia, baik dia adalah wanita yang masih kecil atau sudah dewasa.

Ibnul Mundzir berkata, “Mereka (para ulama) sepakat bahwa masa iddah wanita muslimah yang merdeka dan tidak dalam keadaan hamil, disebabkan karena wafatnya suami adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu telah digauli atau belum, baik wanita yang belum balig ataupun wanita yang telah dewasa.” [15]

Adapun wanita budak, apabila ditinggal mati suaminya, maka masa iddahnya adalah separuh dari masa iddah wanita merdeka; yaitu dua bulan lima hari. [16]

Wanita yang memiliki haid dan berpisah dengan suami yang masih hidup

Apabila perpisahan itu karena perceraian (talak), maka masa iddahnya adalah tiga kali quru’, yaitu tiga kali haid. Allah berfirman,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” [17]

Dan apabila perpisahan itu karena sebab khuluk atau karena sebab fasakh, maka masa iddahnya adalah satu kali haid untuk mengetahui bersihnya rahim dari kehamilan. [18]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa istri Tsabit bin Qais mengajukan khuluk darinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan masa iddahnya adalah satu kali haid. [19]

Wanita yang tidak memiliki haid

Wanita yang berpisah dari suaminya (bukan karena meninggal dunia), sedangkan wanita tersebut tidak memiliki haid mungkin karena telah lanjut usia, atau karena masih kecil dan belum haid, atau karena memang tidak pernah haid sama sekali meski sudah baligh, atau wanita yang mengalami istihadhah dan tidak bisa membedakan masa haid dari darah istihadhah; maka masa iddahnya adalah tiga bulan.

Allah berfirman,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” [20]

Wanita yang haidnya terhenti tanpa diketahui sebabnya

Apabila seorang wanita terhenti haidnya karena suatu sebab yang diketahui (seperti karena menyusui atau karena sakit) dan haidnya akan kembali lagi, maka dia tetap menunggu haidnya dan menjadikan tiga kali haid sebagai masa iddahnya, meski harus menunggu agak lama. 

Adapun wanita yang terhenti haidnya tanpa diketahui sebab berhentinya haid, maka masa iddahnya adalah satu tahun; yaitu dengan anggapan sembilan bulan untuk kemungkinan hamil, dan tiga bulan untuk masa iddah wanita yang tidak bisa haid lagi.

Wanita yang suaminya hilang

Yang dimaksud dengan hilang di sini adalah tidak adanya kabar tentangnya sama sekali dan tidak diketahui apakah masih hidup ataukah sudah meninggal dunia. [21]

Maka berdasarkan ketetapan Umar radhiyallahu ‘anhu, hakim memerintahkan wanita ini untuk menunggu suaminya selama empat tahun. Kemudian apabila masih belum ada kabar setelah berlalu empat tahun, maka wali dari suami diperintahkan untuk mentalak wanita ini dan kemudian wanita ini mengambil masa iddah selama empat bulan sepuluh hari sebagaimana masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. [22]

Kapan Masa Iddah Dimulai

Masa iddah wanita yang dicerai dimulai sejak dijatuhkannya kalimat cerai oleh suami. Bukan dari tanggal dikeluarkannya surat cerai dari pihak terkait.

Adapun masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, maka dimulai sejak tanggal kematian suaminya. [23]

Hukum Terkait Wanita dalam Masa Iddah

Ada beberapa hukum yang terkait dengan wanita yang masih berada dalam masa iddah. [24]

Haram dikhitbah

Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk meminang (khitbah) secara terang-terangan terhadap wanita yang berada dalam masa iddahnya, baik karena cerai ataupun karena ditinggal mati suami.

Dan boleh baginya untuk meminang dengan sindiran terhadap wanita yang berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suami atau karena talak bain bainunah kubra. Adapun wanita yang dalam masa iddah karena talak raj’i, maka tidak boleh dipinang secara mutlak, baik terang-terangan ataupun secara sindiran, karena wanita itu secara hukum masih berstatus sebagai istri dari suami yang mentalaknya dengan talak raj’i.

Haram dinikahi

Wanita yang masih dalam masa iddah tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain sampai berakhirnya masa iddah. Ini berlaku secara umum pada seluruh macam masa iddah.

Tidak boleh keluar dari rumah

Seorang wanita yang dalam masa iddah, tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali karena suatu udzur. Dan hukum ini berlaku umum bagi seluruh wanita yang dalam masa iddah, baik karena talak raj’i, talak ba’in, atau karena ditinggal mati suami.

Nafkah dan tempat tinggal

Wanita yang berada dalam masa iddah karena talak raj’i, masih berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari suaminya. Karena status wanita tersebut masih sebagai istri.

Jika wanita tersebut berada dalam masa iddah karena talak ba’in, maka apabila dia dalam keadaan hamil, dia masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sampai dia melahirkan kandungannya. Apabila tidak dalam keadaan hamil maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.

Sedangkan wanita yang berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suami, maka dia tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Karena dengan kematian suami telah berakhir sudah hubungan suami istri. Namun wanita tersebut wajib untuk tetap tinggal di rumah suami selama masa iddah.

Wajib berkabung (ihdad)

Wanita yang ditinggal mati suaminya, wajib melakukan ihdad (berkabung) pada seluruh masa iddahnya, yaitu empat bulan sepuluh hari (bagi wanita yang hamil) atau sampai melahirkan (bagi wanita yang hamil).

Dan yang dimaksud dengan ihdad (berkabung) di sini adalah meninggalkan segala macam perhiasan, dandanan atau pakaian yang bisa memikat laki-laki lain untuk menikahinya.

Hukum terkait warisan

Apabila terjadi talak raj’i lalu salah satu dari suami atau istri itu meninggal dunia ketika istri masih dalam masa iddah, maka masing-masing mewarisi pasangannya.

Apabila terjadi talak ba’in dalam keadaan suami masih sehat, lalu salah satu dari suami atau istri itu meninggal dunia, maka keduanya tidak saling mewarisi.

Nasab anak dalam kandungan istri

Anak yang dikandung istri dalam masa iddah tetap dinasabkan kepada suami yang menceraikannya atau yang mati meninggalkannya.

Menyusulkan talak pada masa iddah

Apabila seorang suami mentalak istrinya dengan talak satu, lalu pada masa iddah istri suami itu mentalaknya lagi dengan talak dua atau kemudian dengan talak tiga, maka talak itu disusulkan sampai habis masa iddahnya. Sehingga ketika wanita itu selesai dari masa iddahnya, maka dia telah berpisah dari suaminya.

Referensi

  1. QS. Al-Baqarah: 184.
  2. Al-Mufradat, hlm. 327.
  3. Al-Mishbah Al-Munir, hlm. 205.
  4. Mukhtar Ash-Shihah, hlm. 202.
  5. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyah Haditsah, 5/161.
  6. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/241.
  7. QS. Al-Baqarah: 228.
  8. HR. Muslim no. 1480.
  9. Mughnil Muhtaj, 3/384.
  10. I’lamul Muwaqqi’in, 2/85.
  11. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyah Haditsah, 5/163.
  12. QS. Al-Ahzab: 49.
  13. QS. Ath-Thalaq: 4.
  14. QS. Al-Baqarah: 234.
  15. Al-Ijma’, hlm. 86.
  16. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyah Haditsah, 5/164.
  17. QS. Al-Baqarah: 228.
  18. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/243.
  19. HR. Abu Daud no. 2229, dishahihkan Al-Albani.
  20. QS. Ath-Thalaq: 4.
  21. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/244.
  22. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyah Haditsah, 5/168-171.
  23. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyah Haditsah, 5/172.
  24. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/248-251.
Baca juga: