Rujuk

Wanita yang ditalak dengan talak satu atau dua, masih memungkinkan untuk dirujuk oleh suaminya. Apa yang dimaksud dengan rujuk, dan bagaimana hukum-hukumnya?

Definisi Rujuk

Dalam bahasa Arab, rujuk (الرجوع), atau disebut juga dengan kata raj’ah atau rij’ah (الرجعة) memiliki arti kembali. Dikatakan seseorang merujuk istrinya apabila dia mengembalikan istrinya kepada dirinya setelah dicerai atau ditalak.

Adapun yang dimaksud dengan rujuk menurut istilah para ahli fikih adalah: kembalinya wanita yang telah ditalak dengan talak raj’i, kepada keadaan semula tanpa melalui akad. [1]

Dalil Disyariatkannya Rujuk

Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” [2]

Dan juga firman-Nya,

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.” [3]

Sedangkan dari As-Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mentalak (menceraikan) istrinya ketika sedang haid,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا

“Perintahkan dia untuk merujukinya.” [4] [5]

Demikian pula dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, beliau pernah merujuk Hafshah yang telah dicerai sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم – طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalak Hafshah, kemudian beliau merujuknya kembali. [6]

Dan telah terjadi ijmak (kesepakatan) para ulama fikih atas disyariatkannya rujuk pada wanita merdeka yang ditalak dengan talak satu atau dua, dan wanita budak yang ditalak dengan talak satu, selama mereka dalam masa iddah. Ijmak ini telah dinukilkan oleh banyak para ulama; di antaranya adalah Ibnul Mundzir [7], Ibnu Hazm [8], dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah [9] [10].

Hikmah Disyariatkannya Rujuk

Dibolehkannya rujuk seorang suami kepada istrinya yang ditalak merupakan salah satu nikmat Allah. Karena terkadang talak terjadi karena emosi, karena marah, dan terjadi tanpa ada pikir panjang akan akibat-akibat buruknya.

Apabila seorang laki-laki berpisah dari istrinya, kemungkinan besar dirinya akan merasa rindu kepada istrinya. Dan dengan adanya syariat rujuk ini, dia bisa kembali kepada istrinya. Oleh karena itulah syariat rujuk ini Allah adakan untuk kehidupan rumah tangga sebagai wujud rahmat dan kasih sayang Allah kepada pasangan suami istri, dan merupakan nikmat Allah kepada mereka sehingga mereka bisa mendapatkan kebahagiaan. [11]

Hukum Rujuk

Pada asalnya, hukum rujuk adalah mubah. Karena rujuk adalah hak suami. Berdasarkan firman Allah,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” [12]

Dan rujuk menjadi wajib – menurut Hanafiyah dan Malikiyah – ketika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan talak satu (atau dua) dalam keadaan istri yang haid. Maka talak ini disebut talak bid’i dan harus dikoreksi. Sedangkan pengoreksian talak ini tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan rujuk terlebih dahulu. Dalilnya adalah kisah Ibnu Umar yang mentalak istrinya yang sedang haid, lalu diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merujukinya.

Namun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, hukum rujuk dalam keadaan tersebut adalah sunah.

Dan hukum rujuk menjadi sunah (mandub) apabila suami istri itu menyesali terjadinya talak, terutama apabila mereka memiliki anak-anak yang kemaslahatan menuntut mereka untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Maka rujuk menjadi sunah karena memandang kemaslahatan yang diperhatikan oleh Allah yang membuat syariat ini.

Dan hukum rujuk menjadi haram apabila suami merujuki istrinya dengan tujuan untuk menyusahkan dan memberikan mudarat kepada istrinya. Allah telah melarang hal ini dalam firman-Nya,

وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” [13]

Dan talak menjadi makruh apabila suami memandang dia tidak akan bisa menegakkan batasan-batasan Allah dalam rumah tangga apabila dia merujuki istrinya kembali. [14]

Syarat Sahnya Rujuk

Disyaratkan beberapa hal berikut agar rujuk menjadi sah.

1- Wanita yang dirujuk adalah istri yang sebelumnya pernah digauli oleh suami yang menceraikannya. Karena jika wanita itu belum pernah digauli olehnya, maka tidak ada kesempatan rujuk bagi suami. Karena wanita itu tidak memiliki masa iddah. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” [15]

2- Rujuk terjadi setelah terjadinya talak raj’i, talak yang masih memungkinkan bagi suami untuk merujuki istrinya. Yaitu talak yang pertama atau yang kedua. Adapun talak yang ketiga kali maka tidak ada hak rujuk bagi suami pada talak tersebut. Demikian pula tidak ada hak rujuk bagi suami apabila perceraian atau perpisahan suami istri yang disebabkan karena khuluk, di mana istri memberikan ganti kepada suami atas mahar yang dahulu diberikan suami kepadanya.

3- Wanita yang dirujuk itu masih berada dalam masa iddahnya. Apabila sudah berakhir masa iddahnya, maka tidak boleh rujuk kepadanya kecuali dengan keridhaan wanita itu dan dengan akad nikah yang baru. Allah berfirman,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” [2]

4- Laki-laki (suami) yang merujuk adalah orang yang layak untuk merujuk. Yaitu keadaannya sebagai orang yang baligh dan berakal. Meskipun syarat ini diperselisihkan oleh para ulama ahli fikih.

5- Rujuk yang dilakukan adalah rujuk tanpa syarat, yakni tidak tergantung pada suatu syarat. Apabila tergantung pada suatu syarat maka rujuknya tidak sah; misalnya suami berkata kepada istrinya “jika si fulan datang, maka kamu saya rujuk”. Kalimat rujuk ini adalah kalimat rujuk yang digantungkan pada kedatangan si fulan. Maka rujuk yang seperti ini tidak sah. [16]

Saksi dalam Rujuk

Para ahli fikih sepakat atas disukainya mengangkat dua orang saksi yang adil dalam pelaksanaan rujuk. Karena keberadaan saksi ini akan menghilangkan keraguan pada terjadi dan tidaknya rujuk, serta untuk menolak tuduhan jelek ketika suami telah kembali berhubungan dengan istrinya, dan sebagai antisipasi agar tidak ada pengingkaran dari pihak istri atas rujuknya suami apabila masa iddah telah habis. [17]

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah adanya dua orang saksi ini wajib hukumnya sehingga bisa mempengaruhi sah dan tidaknya rujuk? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama:

Pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah, dan pendapat baru (qaul jadid) dari Asy-Syafi’i, serta salah satu dari dua riwayat Ahmad; menyatakan bahwa mempersaksikan rujuk hukumnya mustahab (tidak wajib). Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma. Sehingga barangsiapa yang merujuki istrinya tanpa menjadikan orang lain sebagai saksi, maka sah rujuknya.

Pendapat kedua:

Asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu (al-qadim), dan menurut riwayat kedua dari Ahmad; menyatakan bahwa menjadikan saksi dalam rujuk adalah wajib.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengangkat saksi dalam rujuk bukan merupakan syarat, tidak pula merupakan kewajiban. Ini menurut pendapat yang lebih kuat.[18]

Tata Cara Rujuk

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama ahli fikih, bahwa rujuk terjadi dengan ucapan. Seperti misalnya seorang suami berkata, “Aku rujuk kepadanya”, atau ucapan semisalnya.

Dan mereka berbeda pendapat tentang apakah rujuk bisa terjadi (sah) dengan perbuatan atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama:

Bahwa rujuk tidak akan sah apabila dilakukan dengan perbuatan seperti jimak atau yang lain. Karena rujuk tidak boleh dilakukan kecuali dengan ucapan. Ini adalah pendapatnya Syafi’iyyah. Mereka berargumentasi bahwa rujuk adalah mengembalikan ikatan pernikahan. Sehingga sebagaimana akad nikah tidak sah kecuali dengan ucapan apabila memang mampu, maka demikian pula halnya dengan rujuk.

Pendapat kedua:

Bahwa rujuk bisa terjadi dengan perbuatan yang disertai niat. Maka seandainya seorang suami menggauli istrinya yang masih dalam masa iddah karena talak raj’i, atau dia menciumnya, atau menyentuhnya dengan disertai niat untuk rujuk, maka terjadilah rujuk dengan sebab itu. Ini adalah pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama ahli fikih. [19]

Baca pula

Referensi

  1. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah, 5/109.
  2. QS. Al-Baqarah: 228.
  3. QS. Ath-Thalaq: 2.
  4. HR. Al-Bukhari no. 5251.
  5. HR. Muslim no. 1471.
  6. HR. Abu Dawud no. 2283.
  7. Al-Ijma’, hlm. 80 dan 89.
  8. Maratib Al-Ijma’, hlm. 75.
  9. Al-Mughni, 8/470.
  10. Al-Mughni, 8/476.
  11. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/218.
  12. QS. Al-Baqarah: 228.
  13. QS. Al-Baqarah: 231.
  14. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22/106-107.
  15. QS. Al-Ahzab: 49.
  16. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah, 5/110-112.
  17. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/223.
  18. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22/113-114.
  19. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah, 5/113-114.