Sewa Menyewa (Ijarah)

Pengertian Sewa Menyewa ( Ijarah)

Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab disebut Ijarah adalah akad terhadap suatu manfaat dalam jangka waktu tertentu dengan bayaran tertentu.[1]

Hukum  Sewa Menyewa ( Ijarah)

Sewa menyewa (Ijarah) dalam syariat islam hukumnya  diperbolehkan. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Dalil dari Al-Quran

Allah Berfirman dalam al-Quran,

 (لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَخْرًا (77

 Jikalau kamu mau niscaya mengambil upah untuk itu.”[2]

Allah berfirman dalam al-Quran,

 (إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَئْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِيْنَ (26

   “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”[3]

Allah berfirman dalam al-Quran,

  عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِىَ حِجَجٍ

“ Atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.”[4]

Dalil dari  Hadits Nabi 

Rasulullah  bersabda,

 قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى : ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ، وَ رُجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَ رَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيْرَ فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَ لَمْ يُوَفِّهِ أَجْرَهُ

 ” Allah berfirman, ‘ Tiga golongan manusia dimana Aku akan menjadi seteru (musuh) mereka pada Hari Kiamat yaitu: Orang yang member (sumpah) atas namaKu, lalu berkhianat (dengan membatalkannya), orang yang menjual orang yang merdeka, lalu memakan uangnya, dan orang yang menyewa (mempekerjakan) seorang pekerja, lalu pekerja memenuhinya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”[5]

 

Berdasarkan transaksi sewa menyewa (ijarah) dari Rasulullah dan Abu  Bakar ketika berhijrah, mereka menyewa seorang laki-laki dari Bani ad-Dil sebagai pemandu jalan menuju Madinah.[6]

Syarat-Syarat Sewa Menyewa ( Ijarah)

Berikut adalah syarat-syarat yang mesti dipenuhi ketika melakukan sewa menyewa:

  1. Mengetahui manfaatnya, seperti mendiami rumah atau menjahit pakaian. Karna keberadaan sewa menyewa (ijarah) itu seperti jual beli, sedang dalam jual beli disyaratkan harus mengetahui barang yang dijual.
  2. Manfaaat yang dimaksud hukumnya mubah. Karna itu, tidak diperbolehkan menyewa seorang budak perempuan untuk digauli, menyewa seorang wanita untuk bernyanyi atau untuk meratapi jenazah atau menyewa tanah untuk mendirikan gereja atau pabrik minuman keras misalnya.
  3. Mengetahui upahnya, berdasarkan keterangan di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id,

 نَهَى رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنِ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيْرِ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُ أَجْرُهُ

“Rasulullah telah melarang menyewa (mempekerjakan) seorang pekerja, sehingga dijelaskan kepadanya mengenai upahnya.”[7]

Ketentuan hukum berkaitan dengan Sewa Menyewa ( Ijarah)[8]

Berikut diantara beberapa ketentuan yang berkaitan dengan sewa menyewa (ijarah)

  1. Diperbolehkan menyewa guru untuk mengejarkan ilmu atau kerajinan. Karna Rasulullah  pun telah membebaskan sebagian tawanan perang badar dengan ketentuan mereka harus mengajarkan menulis kepada sejumlah anak kecil di Madinah[9]
  2. Diperbolehkan menyewa seseorang dengan memberinya makanan serta pakaian. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah  ketika membaca surat al-Qashash hingga sampai pada ayat yang berbicara tentang kisah Nabi Musa, seraya bersabda,

 إِنَّ مُوْسَى آجَرَ نَفْسَهُ ثَمَانِيَ حِجَجٍ أَوْ عَشْرًا عَلَى عِفَّةِ فَرْجِهِ وَ طَعَامِ بَطْنِهِ

“Sesungguhnya Musa telah menyewakan dirinya selama delapan atau sepuluh tahun atas kehormatan kemaluannya dan makanan perutnya.”[10]

  1. Sah menyewa sebuah rumah yang telah ditentukan yang kelayakannya didasarkan pada dugaan
  2. Jika seseorang menyewa suatu barang, kemudian ia dilarang memanfaatkannya dalam jangka waktu tertentu, maka uang sewanya harus dipotong sesuai dengan waktu dimana ia dilarang memanfaatkannya. Sedangkan jika penyewa tidak memanfaatkannya karna kehendak dirinya sendiri, maka ia wajib membayar uang sewanya secara utuh.
  3. Sewa menyewa (ijarah) dianggap  batal dengan rusaknya barang yang disewa, misalnya: Rumah yang disewanya roboh atau binatang yang disewanya mati, dan penyewa hanya wajib membayar uang sewa waktu yang telah lalu selam ia memanfaatkannya
  4. Jika seseorang menyewa suatu barang, kemudian ia mendapati barang itu cacat yang tidak diketahui sebelumnya dan ia rela menerimanya serta telah memanfaatkannya selama waktu tertentu, maka ia harus membayar uang sewa.
  5. Pekerja yang disewa (dipekerjakan) dalam perserikatan yang banyak, misalnya: Sejumlah penjahit atau tukang pandai, maka mereka diwajibkan mengganti kerusakan barang yang dirusaknya karna tindakannya dan tidak diwajibkan mengganti barang yang hilang dari took yang mereka jaga. Karna keberadaan barang yang ada di took dianggap sebagai barang titipan, sedangkan orang yang dititipi tidak diwajibkan mengganti kerusakan barang yang dititipkan kepadanya, selama ia tidak bertindak ceroboh. Juga keberadaan pekerja khusus dianggap seperti seseorang yang disewa (dipekerjakan) untuk bekerja padanya secara khusus, mak pekerja tersebut tidak diwajibkan mengganti kerusakan barang yang dipakainya selama ia tidak bertindak ceroboh atau melampau batas.
  1. Uang sewa (upah) harus ditetapkan melalui akad dan harus diserahkan setelah manfaat yang dimaksud terpenuhi atau setelah pekerjaan selesai, kecuali jika disyaratkan  supaya diserahkan ketika akad, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,

 لٰكِنَّ الْعَمَلَ إِنَّمَا يُوَفَّى أَجْرُهُ إِذَ قَضَى عَمَلَهُ

“Akan tetapi pekerja hanyalah berhak diberikan upahnya ketika dia telah menyelesaikan pekerjaannya.”[11]

  1. Pekerja yang disewa (dipekerjakan) berhak menahan barang hingga upahnya dibayar, jika tindakan menahannya itu berpengaruh terhadap pemenuhan upahnya seperti penahanan yang dilakukan oleh sejumlah penjahit. Jika tindakan penahanannya tidak memiliki pengaruh seperti seseorang yang disewa untuk memikulkan suatu barang ke tempat tertentu, maka ia tidak berhak menahannya, tetapi harus menyampaikannya ke tempat yang dimaksud, kemudian ia meminta upahnya.
  1. Jika seseorang mengobati orang sakit serta meminta bayaran, padahal ia bukan orang yang mengetahui pengobatan, sehingga ia merusak salah satu anggota tubuh orang yang diobatinya, maka ia harus bertanggung jawab atas keruskan tersebut, berdasarkan sabda Rasulullahﷺ,

 مَنْ تَطَبَّبَ وَ لَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barangsiapa yang melakukan pengobatan, padahal ia tidak mengetahui hal pengobatan, maka ia  harus bertanggung jawab.”[12] [13]

Referensi

[1] Kitab Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri. Edisi Bahasa Indonesia., penerbit: Darul haq, Jakarta. Hal.678

[2] Al-Quran Surat al-Kahfi:77

[3] Al-Quran Surat al-Qashash: 26

[4] Al-Quran Surat al-Qashash: 27

[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.2227

[6] Sebagaiman tertera dalam shahih al-Bukhari, no.2263

[7] Diriwayatkan oleh Ahmad, no.11279 dan para perawinya disepakati dalam kitab shahih

[8] Lihat minhajus muslim: 679-681

[9] Riwayat diatas dituturkan oleh ulama yang menulis tentang peperangan dan lawatan Rasulullah , diantaranya oleh Muhammad bin Ishaq. (Lihat Kitab Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri. Edisi Bahasa Indonesia., penerbit: Darul haq, Jakarta. Hal.679-680)

[10] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, no.2444 dan di dalam sanadnya terdapat perawi yang dipermasalahkan (Lihat Kitab Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri. Edisi Bahasa Indonesia., penerbit: Darul haq, Jakarta. Hal.680)

[11] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 7857, dan didalam sanadnya terdapat perawi yang lemah (Lihat Kitab Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri. Edisi Bahasa Indonesia., penerbit: Darul haq, Jakarta. Hal.681)

[12] Yang diamksud dengan orang yang mengetahui hal pengobatan  (ahli medis) ialah orang yang mengetahui penyakit dan obat-obatan dan memiliki sejumlah guru yang memberikan pengakuan atas keahliannya di bidang pengobatan serta mengizinkannya membuka praktek pengobatan.

[13] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no.4586; an-Nasai, no.4830 dan Ibnu Majah, no.3488. Abu Dawud berkata, “ Kami tidak tahu apakah hadits tersebut shahih atau tidak.” (Lihat Kitab Minhajul Muslim, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri. Edisi Bahasa Indonesia., penerbit: Darul haq, Jakarta. Hal.681)