Shalat

Shalat adalah rukun Islam yang kedua dari rangkaian-rangkaian rukun Islam yang lima, shalat juga merupakan ibadah yang sangat ditekankan setelah syahadat. Shalat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seorang muslim dan sama sekali bukan termasuk beban yang memberatkannya, bahkan shalat hakikatnya sebuah aktifitas yang sangat menyenangkan hati seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganalogikan shalat dengan analogi yang sangat indah, yang menunjukkan bahwa ia adalah sebuah kebutuhan dan kegembiraan hati orang-orang yang beriman, karena dengannya Allah menghapuskan dosa hamba-Nya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ ، يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا ، مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ ؟. قَالُوا :لاَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا . قَالَ: فَذَلِكَ مثل الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا

Tahukah kalian, seandainya ada sebuah sungai di dekat pintu salah seorang di antara kalian, lalu ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali, menurut Anda, apakah itu akan menyisakan kotorannya ? Para sahabat menjawab, ‘Tidak menyisakan sedikit pun kotorannya.’ Beliau bersabda, ‘Maka begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa (hamba-Nya)’[1]

Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Shalat adalah rukun kedua dalam Islam dan berfungsi sebagai tiang agama. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Lâ ilâha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân.” [2]

Makna Shalat

Makna bahasa

Shalat secara etimologi (bahasa) Shalat (الصَّلَاة) bermakna الدُّعَاءُ (do’a)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat kebanyakan dari kalangan ahli bahasa dan ahli fiqih, menggunakan do’a dengan menyebut shalat telah dikenal dalam bahasa Arab, hubungan antara do’a dan shalat bersifat parsial, karena do’a adalah bagian dari shalat dan shalat menjadi pelengkap dengan do’a tersebut. [3]

Makna istilah

Shalat secara terminologi (Istilah) ialah

أَقوالٌ و أَفعالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ و مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ مَعَ النِّية

Adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbir (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan salam disertai niat (tanpa lafazh). Dinamakan demikian karena mengandung do’a dan orang yang melakukan shalat tidak terlepas dari do’a ibadah, pujian dan permintaan, itulah sebabnya dinamakan shalat. [4]

Keutamaan Shalat

Shalat merupakan rukun islam yang utama setelah membaca Syahadatain. Bahkan Shalat merupakan tiang agama Islam. Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atas wajibnya Shalat ketika peristiwa Mi’raj di langit ke tujuh. Diantara dalil pentingnya perkara Shalat bagi hidup seorang muslim adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami masalah maka beliau bersegera untuk shalat.

Terdapat banyak hadits yang berisi keutamaan dan motivasi untuk mengerjakan Shalat. Diantaranya:

Penghapus dosa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصلوات الخمس والجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان، مكفرات لما بينهن ما اجتنبت الكبائر

Shalat fardu lima waktu dan shalat jumat ke jumat yang lain serta puasa Ramadhan ke Ramadhan yang lain menjadi kafarat (penebus) dosa diantara keduanya, kecuali dosa-dosa besar. [5]

Nabi juga bersabda,

أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات، هل يبقى من دَرَنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من دَرَنه شيء. قال: فذلك مَثَلُ الصلوات الخمَسَ، يمحو الله بهن الخطايا

“Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan rumah salah satu kalian terdapat sungai dan dia mandi dari airnya lima kali sehari. Apakah tersisa kotoran padanya?” Para sahabat menjawab: “Tidaklah tersisa padanya kotoran.” Nabi bersabda: “Demikianlah permisalan shalat lima waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa.” [6]

Syiar Islam yang paling agung

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَين العَبْد وَبَين الْكفْر ترك الصَّلَاة

Pembeda diantara seorang muslim dan kafir adalah meninggalkan shalat. [7]

Shalat adalah syiar Islam yang paling agung dan suatu tanda yang jika tanda itu hilang darinya maka keislamannya layak diragukan adanya. [8]

Shalat adalah tiang agama

Shalat adalah perintah yang wajib agar dijalankan oleh seorang muslim. Allah jadikan shalat sebagai tiang agama. Oleh karena itu, shalat merupakan bagian terpenting dalam agama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ

“Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat. [9]

Pencegah dari perbuatan keji dan mungkar

Allah ta’ala berfirman,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [10]

Ciri seorang mukmin yang beruntung

Allah ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ۝

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya. [11]

Hukum Shalat

Shalat 5 (lima) waktu hukumnya wajib berdasarkan Al Quran, Sunnah, dan Ijma’ yang merupakan bagian ilmu yang ma’lum minaddin bidh dharurah. Allah ta’ala berfirman di banyak ayat,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ

Allah ta’ala juga berfirman,

قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ

Dalil dari sunnah,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُوْن

“Allah memerintahkanku shalat lima waktu namun pahala dan ganjarannya mencapai lima puluh.” [12]

Nabi bersabda kepada seorang yang baru masuk islam,

خمس صلوات في اليوم والليلة. قال السائل: هل عليَّ غيرهن؟ قال: لا، إلا أن تَطَّوَّع

Shalat lima waktu (wajib atasmu) dalam sehari semalam. Kemudian ada yang bertanya: “Apakah ada yang selainnya?” Nabi bersabda: “Tidak, kecuali hanya sunnah.” [13]

Hukum Meninggalkan Shalat

Perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat ada dua bentuk :

  1. Meninggalkan shalat sambil meyakini bahwa shalat itu tidak wajib, maka pelakunya kafir. Ini berdasarkan kesepakatan Ulama.
  2. Meninggalkan shalat, karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat itu wajib. Dalam masalah ini para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa pelakunya belum kafir, sementara sebagian yang lain menghukuminya kafir. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat –insya Allâh– berdasarkan banyak dalil dan perkataan as-salafush shalih.

Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat mayoritas Shahabat. Maka sudah sepantasnya kita semua untuk menjaga shalat kita. [14]

Ada pula sebagian Ulama yang menukilkan adanya ijmak sahabat Nabi tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Seperti Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, 2/242-243, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitâbus Shalah, hal. 26, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti’ 2/28. Meninggalkan shalat adalah perkara yang sangat berbahaya, setidaknya setiapmuslim harus meyakini bahwa hal ini adalah hal yang tidak biasa.

Seorang tabi’in, Abdullâh bin Syaqîq rahimahullah, berkata, “Dahulu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang suatu amalan, yang jika ditinggalkan merupakan kekafiran, selain shalat”. [15]

Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad (keluar dari agama Islam). Sedangkan dari dalil-dalil yang ada tidak disebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. Diantara konsekuensi orang yang meninggalkan shalat:

Orang yang meninggalkan shalat tidak sah penikahannya. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan istrinya tidak halal  baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang para wanita yang berhijrah:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” [16]

Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur/tidak sah, sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahli ilmu, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.

Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia ditugaskan menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti –na’udzu billah– sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani. Semoga kita trmasuk orang-orang yang menjaga shalat kita.

Orang yang tidak pernah shalat dilarang memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاء إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [17]

Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallamdalam hadits Usamah:

لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim.” [18]

Jika orang yang tidak pernah shalat meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak terhormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin menyalatinya.

Pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir –na’udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” [19]

 Referensi

  1. HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 667
  2. HR. Al-Bukhâri no. 8 dan Muslim no. 16
  3. Al Fiqhul Muyassar fii dhauil kitab was sunnah, terbitan Majma’ Malik Fahd 1424 H, hal. 43.
  4. Ibid, hal. 43-44
  5. HR. Muslim no. 16 dan 233
  6. HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 667
  7. HR. Muslim no. 82, Abu Dawud no. 4678, At-Tirmidzi no. 2618, dan lainnya
  8. Hujjah Allah Al-Balighah, 1/317
  9. HR. At-Tirmidzi dalam sunannya, kitab Al Iman bir Rasulillah no. 3541 dan Ahmad dalam musnadnya no. 21054, At-Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih.”
  10. QS. Al-Ankabut : 45
  11. QS. Al-Mu’minun : 1-2
  12. HR. Al-Bukhari no. 349, Muslim no. 162, dan lainnya
  13. HR. Al-Bukhari no. 46 dan Muslim 11
  14. Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, 1/172-177.
  15. Riwayat Al-Hakim, lihat: Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, 1/174
  16. QS. Al-Mumtahanah: 10
  17. QS. At-Taubah: 28
  18. Muttafaq ‘Alaih; Al-Bukhari, kitab Al-Fara’idh (6764), Muslim, kitab Al-Fara’idh (1614).
  19. QS. At-Taubah: 113