Sunnah

Sunnah merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Mengetehaui makna dan seluk-beluk tentang sunnah merupakan suatu hal yang sangat penting. Sehingga seorang tidak salah dalam memahami agama islam ini. Hal tersebut dikarenakan Al-Qur’an tidak bisa lepas dari Sunnah dan  Sunnah pun juga tidak bisa lepas dari Al-Qur’an. Barang siapa yang mencoba memisahkan antara keduanya, pasti akan ditemukan keganjilan serta kejanggalan dalam beragama.

Definisi

Menurut bahasa

Sunnah (السنّة) secara bahasa sering diartikan dengan jalan, metode atau tatacara yang dalam bahasa arab sering disebut At-Thariq (الطريق), Al-Maslak (المسلك) dan Al-Manhaj (المنهج). Pengertian ini bisa kita ambil dari Al-Qur’an ketika Allah berfirman:

يُرِيدُ اللَّـهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿٢٦﴾

“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 26)

Begitu juga bisa kita ambil dari sabda Nabi:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ

“Kalian (wahai umatku), pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian (dalam kemaksiatan dan penyimpangan) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” [1]

Dan juga hadits nabi ketika beliau menasihati tiga sahabatnya yang hendak menambah suatu ibadah yang tidak ia dicontohkah karena merasa diri mereka sangat kurang ibadahnya dibandingkan ibadah nabi, sahabat pertama berniat untuk shalat semalam suntuk tanpa tidur, sahabat keduan berkehendak untuk berpuasa setiap hari tanpa berbuka, sahabat ketika ingin beribadah terus dengan membunjang selamanya, maka beliau mengatakan:

أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Kalian yang memiliki niatan untuk begini dan begitu?! Demi Allah Aku adalah seorang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah, akan tetapi aku tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat malan dan juga tidur, dan aku juga menikahi wanita, barang siapa yang membenci jalan serta tatacara dan metode ibadahku maka ia bukan dari golonganku.” [2] [3]

Sunnah dalam bahasa arab bisa berkonotasi positif dan juga bisa berkonotasi negatif, hal ini bisa kita fahami dari hadits nabi berikut ini:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang mencontohkan kebaikan dalam islam maka ia akan mendapatkan pahalanya, berserta pahala orang-orang yang mencontohnya tanpa mengurangi pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan kejelekan dalam islam maka ia akan mendapatkan dosanya, berserta dengan dosa orang-orang yang mencontohnya tanpa harus mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” [4]

Menurut Istilah

Sunnah secara istilah memiliki beberapa makna, diantaranya:

Sunnah yang bermakna aqidah

Dahulu beberapa ulama menamai kitab-kitab aqidah yang mereka tulis dengan kata-kata sunnah, tanpa kata aqidah. Seperti imam Al-Muzani beliau menulis kita aqidah dengan nama Syarh As-Sunnah, Anak Imam Ahmad yang bernama Abdullah juga menulis kitab aqidah dengan judul As-Sunnah. Begitu juga Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Khallal, dan beberapa ulama lainnya.

Sunnah yang bermakna lawan kata dari bid’ah

Imam Asy-Syatibi dalam kita Al-Muwafaqat mengatakan: “Terkadang lafaldz Sunnah juga dipakai sebagai lawan kata bid’ah. Terkadang juga dipakai untuk mengibaratkan amalan-amalan yang diamalkan oleh para sahabat baik yang tertulis maupun tidak, baik yang ada contoh dari nabi secara langsung ataupun dari kesepakatan para sahabat seluruhnya atau dari khalifah setelah beliau sebagaimana sabda beliau: “Atas kalian untuk terus berpegang teguh dengan sunnahku dan juga sunnah para khalifah yang lurus lagi terbimbing.”” [5]

Penggunaan istilah sunnah

Setelah istilah-istilah dalam agama islam telah dibakukan makna Sunnah terbagi menjadi beberapa makna tergantung dari siapa yang mengatakan kata Sunnah tersebut:

Bagi kalangan para ulama hadits

Sunnah menerut ulama hadits adalah: “Segala sesuatu yang diriwayatkan dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perizinan atau sifat beliau.” [6]

Bagi kalangan para ulama ushul fiqih

Sunnah menurut ulama ushul fiqih adalah : “Segala sesuatu yang datang penyebutannya dari nabi baik berpupa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syariat.” [7]

Bagi kalangan para ulama fiqih

Sunnah menurut ulama fiqih adalah: “Suatu hal yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, jika ditinggalkan akan mendapatkan celaan dan cercaan walaupun tidak sampai pada hukuman” atau dengan kata lain: “suatu perintah dalam agama yang hanya bersifat anjuran.” [7]

Dalam pembahasan kali ini kita akan lebih berfokus dengan pengertian yang didefinisikan oleh ulama ahli hadits. Yang mana mereka mendefinisikannya dengan: “Segala sesuatu yang diriwayatkan dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perizinan atau sifat beliau”.

Kesetaraan Al-Qur’an dan Sunnah

Sunnah sebagaimana didefinisikan oleh ulama ahli hadits merupakan salah satu dari bentuk wahyu yang Allah turunkan kepada nabi. Hal tersebut didasari dari beberapa sisi. Diantaranya firman Allah ta’ala:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ﴿٤﴾

“Nabi itu tidak berbicara mengikuti hawa nafsunya akan tetapi itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” [8]

Bahkan mengikuti sunnah merupakan perintah dari Allah di dalam Al-Qur’an

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّـهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّـهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّـهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣١﴾

“Katakanlah wahai Muhammad: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, jika engkau lakukan, pasti Allah akan mencintai kalian bahkan Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”” [9]

Dan orang-orang yang tidak mau mengikuti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diancam oleh Allah dengan fitnah atau cobaan dan adzab yang pedih

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٦٣﴾

“…Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [10]

Dan semuanya menunjukan akan wajibnya mengikuti sunnah serta haramnya menyelisihi sunnah. Dan ini juga menunjukan akan kesetaraan hukum yang ada dalam sunnah dan Al-Qur’an.

Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebuah hadits maka setidaknya memiliki dua fungsi terhadap Al-Qur’an. Diantaranya:

  • Sunnah menerangkan hal-hal yang belum jelas lagi belum detail yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Misal tentang cara shalat, jumlah rakaat, waktu, cara sujud, ruku’ dan berbagai hukum yang berkaitan dengannya. Begitu juga zakat, berapa batas wajib seseorang harus membayar zakat (baca: nishab), begitu juga tentang waktu membayarnya, apa saja barang yang wajib dizakati. Hajipun tidak luput dari hadits-hadits beliau. Bahkan beliau bersabda: “Ambillah cara berhaji kalian dari ku.”
  • Fungsi yang kedua, sunnah menambah suatu hukum yang belum tercantum dalam Al-Qur’an. Seperti haramnya menikah seorang wanita dan bibinya sekaligus. Haramnya memakan keledai, haramnya mamakan binatang buas yang bertaring, dan banyak hal lainnya. [11]

Sunnah terjaga

Sunnah merupakan salah satu bentuk wahyu yang Allah turunkan kepada nabi. Dan keotentikannya akan tetap terjaga sebagaimana Al-Qur’an juga terjaga. Hal ini bisa kita simpulkan dari firman Allah

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴿٩﴾

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-dzikr, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [12]

Jika kita katakan bahwa adz-dzikr disini umum, mencakup wahyu yang Allah turunkan baik berupa Al-Qur’an atau Sunnah, maka secara otomatis Sunnah akan masuk dalam kandungan ayat ini. Namun jika ada yang mengatakan bahwa makna adz-dzikr disini adalah Al-Qur’an secara khusus, maka keontentikan sunnah masuk dalam ayat ini secara eksplisit, karena Sunnah lah yang menerangkan Al-Qur’an. Tidak bisa terbayangkan, bagaimana jikalau Sunnah tidak terjaga, pasti orang-orang akan salah dalam memahami Al-Qur’an, orang-orang akan bingung untuk melakukan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya padalah penjelasan rincinya ada dalam Sunnah.

Bahaya Menyelisihi Sunnah

Menyelisihi sunnah sangatlah berbahaya, Allah berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٦٣﴾

“…Hendaknya orang-orang yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [10]

Suatu saat Sa’id bin Al-Musayyib melihat seorang yang shalat setelah terbit fajar lebih dua rakaat dan memperbanyak rukuk serta sujudnya. Melihat hal tersebut beliau berusaha menegur dan melarangnya, karena hal tersebut tidak disunnahkan.

Orang itupun menjawab: “Wahai Abu Muhammad, Apakah Allah akan mengadzabku dengan shalat ku ini?!” beliau pun menjawab: “Tidak, Allah tidak akan mengadzabmu karena shalat ini, akan tetapi Allah akan mengadzabmu karena engkau menyelisihi petunjuk nabi dalam hal ini.” [13]

Larangan Meninggalkan Sunnah dan Mencukupkan dengan Al-Qur’an

Sebagian orang mengatakan: “Dalam beragama kami hanya memakai Al-Qur’an dan kami tidak memakai hadits atau sunnah”. Perkataan ini merupakan perkataan yang tidak tepat, karena Al-Qur’an membutuhkan Sunnah dan Sunnah juga membutuhkan Al-Qur’an, mari kita simak peringatan nabi berikut ini:

لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ، فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي، مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ

Jangan sampai aku mendapati salah seorang dari kalian bersandar diatas dipan, datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari ku, kemudian mengatakan: “Aku tidak tahu hal ini, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam Al-Qur’an.” [14]

Sunnah dan Al-Qur’an tidak Bertentangan

Sunnah dan Al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan satu dengan yang lainnya, begitu juga, sunnah tidak akan pernah bertentangan dengan sunnah yang lainnya jika keduanya shohih. Bagaimana mungkin akan bertentangan padahal sumber dari semuanya adalah Allah yang Maha Tahu.

Imam Syafi’i berkata: “Hukum Allah dan hukum Rasulullah tidak akan pernah berbeda lagi bertentangan, keduanya berjalan pada satu prinsip yang sama.” [15]

Imam Ibnu Khuzaimah juga mengatakan: “Aku tidak pernah tahu ada dua hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jalur periwayatan yang shahih kemudian keduanya bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Jika ada yang mendapatinya, silahkan datang kepada ku!” [16]

Ibnu Al-Qayyim berkata: “Belum pernah ada satu sunnah shohih lagi outentik yang menyelisihi dan ada pertentangan dengan Al-Qur’an sedikitpun.” [17]

Kelengkapan Sunnah

Ketika menafsirkan firman Allah ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat ketiga:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” [18]

Ibnu Katsir berkata: “Ini adalah nikmat Allah yang terbesar bagi umat ini, dimana Allah ta’ala telah menyempurnakan agama bagi mereka sehingga tidak dibutuhkan lagi agama selainya, tidak dibutuhkan nabi selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh sebab itu Allah jadikan ia sebagai penutup para nabi. Allah utus kepada golongan jin dan manusia. Tidak ada yang halal kecuali yang ia halalkan dan tidak ada yang haram kecuali yang ia haramkan. Tidak ada agama kecuali agama yang ia bawa. Segala sesuatu yang ia kabarkan adalah benar adanya, tiada kedustaan dan tidak selisihi.”

Pengagungan Para Sahabat Terhadap Sunnah

Para sahabat nabi adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana nabi sampaikan: “Sebaik-baik generasi adalah generasi zaman ku.” Mereka menjadi generasi terbaik umat ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantara faktor-faktor tersebut adalah semangat mereka dalam mencontoh dan mengikuti petunjuk nabi junjungan serta uswah hasanah mereka.

Abu Bakar pernah mengatakan: “Aku tidak pernah meninggalkan suatu sunnah yang nabi selalu lakukan. Karena jika aku meninggalkannya sunnah tersebut, aku takut akan menyimpang dari jalan yang lurus.” [19]

Kita juga bisa mengambil pelajaran ini dari hadits cincin. Ibnu Umar berkata: “Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin dari emas. Orang-orang pun berbondong-bondong mencontoh beliau untuk memakai cincin dari emas. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melemparkan cincin tersebut sembari mengatakan: “Aku tidak akan pernah memakainya lagi”. Akhirnya orang-orangpun ikut melepas dan melemparkan cincin mereka.” [20]

Begitu juga kisah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sandal yang beliau pakai ketika shalat. Para sahabat yang shalat dibelakang beliau langsung melepas sandal yang mereka pakai, tanpa harus bertanya apa sebab beliau melepas sandalnya. Ketika selesai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal-sandal yang kalian pakai?”. Para sahabat menjawab: “Kami melihat engkau melepasnya, maka kamipun ikut melepasnya.” [21]

Begitulah generasi awal umat islam, mereka sangat bersemangat dalam mencontoh dan meneladani nabinya tanpa harus bertanya, apa hukum amalan tersebut, tanpa harus bertanya apa alasannya. Semoga kita diberikan kemudahan untuk mencontoh para sahabat untuk menjunjung tinggi Sunnah.

Referensi

  1. HR. Muslim no. 2669.
  2. HR. Al-Bukhari no. 5063.
  3. HR. Muslim no. 1401.
  4. HR. Muslim no. 1017.
  5. Al-Muwafaqat, Imam Asy-Syathibi, 4/290.
  6. Fath Al-Mughits. Maktabah As-Sunnah cet 2003, 1/26.
  7. Tadwin As-Sunnah, 15.
  8. QS. An-Najm : 3-4.
  9. QS. Ali Imran : 31.
  10. QS. An-Nur : 63.
  11. Jami’ Bayan Al-‘Ilmi Wa Fadhlihi, 2/190..
  12. QS. Al-Hijr : 9.
  13. As-Sunan Al-Kurbra no. 4131 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 478.
  14. HR. Abu Dawud no. 4605) dan At-Tirmidzi no. 2663.
  15. Ar-Risalah, 173.
  16. Al-Kifayah, 432.
  17. Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah, 187.
  18. QS. Al-Maidah : 3.
  19. HR. Al-Bukhari no. 3093.
  20. HR. Al-Bukhari no. 5866.
  21. HR. Al-Hakim 1/541, Al-Hakim menyatakan shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, Al-Albani dalam Shahih Abu Daud menyatakan shahih..