Syahadatain (Dua Kalimat Syahadat)

Bunyi dua Kalimah Syahadat (Syahadatain)

Dua kalimat syahadat (Syahadatain) berbunyi:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Makna Syahadat

Secara Bahasa

Asy-Syahadah (الشَّهَادَة) secara etimologi adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari شَهِدَ – يَشْهَدُ.

Ibnu Faris rahimahullah mengatakan, “Huruf Syin, Haa, dan daal menunjukkan makna kehadiran, ilmu, dan pemberitahuan.” [1]

Tiga makna yang disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah di atas terkumpul dalam kalimat Asy-Syahadah. Maka, ia bermakna pemberitahuan dan pemberitahuan tentang sesuatu yang sudah diketahui dan disaksikan oleh panca indra – yang disebutkan dengan kehadiran- atau yang diyakini oleh jiwa.

Ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Asy-Syahaadah adalah perkataan yang timbul dari pengetahuan yang dihasilkan oleh kesaksian mata dan pandangan.” [2]

Adapun menurut Syaikhul Islam bahwa  Asy-Syahaadah harus didasari pengetahuan saksi, kejujuran, dan keterangannya. Dan Asy-Syahaadah (persaksian) tidak dihasilkan melainkan oleh tiga perkara ini.

Secara Istilah

Asy-Syahaadah adalah persaksian atau pemberitahuan tentang apa yang diketahui dan diyakini. Sesuai yang dikatakan oleh Abul Abbas al-Qurthubi rahimahullah di dalam kalimat yang ringkas, dimana beliau menjelaskan mengenai makna perkataan seorang muslim, ‘Aku bersaksi” artinya aku mengucapkan dengan apa yang aku ketahui dan yakini. [3]

Adapun menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah  ketika menjelaskan makna Asyhadu, belia berkata, “Maknanya, ‘Aku mengucapkan dengan lisanku dan mengungkapkan apa yang tersimpan di hatiku dari keyakinanku, bahwasanya tiada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah’. [4]

Waktu Dua Kalimat Syahadat Dibaca

Saat seorang akan masuk islam

Seorang yang kafir yang masuk islam, harus membaca dua kalimat syahadat ini dengan lisan serta hatinya.

Mari kita perhatikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman, mendakwahi orang-orang kafir,

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ

Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, jadikan seruanmu yang pertama kali kepada mereka adalah (dua kalimat syahadat) ‘persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah.’[5]

Kalimat tauhid inilah yang menjadi pemisah antara keadaan kafir dan keadaan muslim, sehingga dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu ketika mendengar musuh mengucapkan kalimat tauhid itu kemudian ia tetap membunuhnya dalam medan perang. Hal itu ditunjukan pada hadist berikut ini:

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma bercerita: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke perkampungan Huraqah di Bani Juhainah. Kami menyerang mereka di pagi buta dan menjadikan mereka kocar kacir. Saya dan seorang laki-laki Anshar berhasil menemukan seseorang dari mereka. Tatkala kami bisa mengepung, ia tiba-tiba mengatakan; ‘laa-ilaaha-illallah.’ Si laki-laki anshar menahan penyerbuannya, sedang aku meneruskannya hingga kubunuh orang itu. Ketika kami pulang, peristiwa ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau berujar kepadaku: “Apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa-ilaaha-illallah?!” Kujawab; ‘betul, Ya Rasulullah, ia mengucapkannya hanya sekedar mencari keselamatan.’ Nabi melanjutkan: “Apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa-ilaaha-illallah?!” Nabi berulangkali menegurku dengan ucapan ini hingga aku mengandai-andai kalaulah aku belum masuk Islam sebelum itu.[6] [7]

Saat ajal menjemput

Saat ajal atau kematian telah tiba maka dituntunkan untuk membaca kalimat syahadat, minimalnya mengucapkan kalimat tauhid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Tuntunlah orang yang sedang berada di penghujung ajalnya agar membaca (kalimat), ‘LAA ILAAHA ILLALLAH.’ (‘tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah semata’).” [8]

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH” (‘tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah semata’) maka ia akan masuk surga.[9] [10]

Saat At-Tahiyat dalam Shalat

Dalam sehari semalam setidaknya kita akan mengucapkan kalimat syahadatain ini sebanyak 9x dalam At-Tahiyat shalat wajib.

Berikut sebagian doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam At-Tahiyat,

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ،فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمْ أَصَابَ كُلَّ عَبْدٍ فِي السَّمَاءِ أَوْ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ،أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو

‘ATTAHIYYAATU LILLAHI WASHSHALAAWAATU WATHTHAYYIBAAT ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHANNABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAHISH SHAALIHIIN (Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau wahai Nabi dan juga rahmat dan berkah-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih). [Apabila kalian mengucapkan seperti ini, seakan-akan kalian telah mengucapkan salam kepada seluruh penduduk langit atau yang berada di antara langit dan bumi.]” (Dan lanjutkanlah dengan bacaan): ‘ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) ‘. [Lalu ia memilih doa yang paling ia sukai kemudian berdoa dengannya.]” [11]

Saat Adzan dan Iqamah

Kalimat syahadat sering terngiang ditelinga disaat para muadzin mengumandangkan adzan mereka, setiap masuk waktu shalat atau ketika mereka mengumandangkan iqamah. Disaat adzan kalimat syahadat diulangi hingga dua kali.

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang yang mendengarkan adzan untuk menirukan ucapan muadzin. Pendengar juga akan menirukan dan mengucapkan kalimat syahadat ini. Sebagai sabda Nabi,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

“Saat kalian mendengar muadzin (mengumandangkan adzan), tirukanlah ucapannya!” [12]

Doa setelah wudhu

Setelah wudhu dituntunkan untuk membaca doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Al-Khattab berikut ini:

Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya kemudian berdoa,

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ

Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya.

Pasti pintu surga yang delapan akan terbuka untuknya. Dia bisa masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki.” [13]

Dzikir

Isi syahadat pertama (syahadat tauhid: laa ilaaha illallah) merupakan dzikir yang paling utama, yang bisa dibaca oleh setiap muslim dalam setiap saat dan waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Sebaik-baik dzikir adalah LAA ILAAHA ILLALLAAH (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).” [14] [15]

Konsekuensi  dua Kalimah Syahadat

Konsekuensi Laa Ilaha Illallah

Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.

Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para thaghut lainnya.

Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid’ah. Mereka menolak para da’i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata. [16]

Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah

Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid’ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang. [16]

Ma’rifatullah

Ma’rifatullah secara bahasa maknanya mengenal Allah dengan pengenalan yang sesungguhnya.

Adapun secara istilah adalah mengenal Allâh ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya yang maha terpuji, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa at-tahrîf (menyelewengkan maknanya yang benar), at-ta’thîl (menolak/ mengingkarinya), at-takyîf (membagaimanakannya), dan at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk). (Majmû’ul Fatâwâ (5/26) dan Taisîrul Wushûl, hlm. 11).

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh ‘Azza wa Jalla )” [17]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allâh ‘Azza wa Jalla, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.” [18]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Semakin banyak pengetahuan seseorang tentang Allâh, maka rasa takutnya kepada Allâh pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauh dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (yaitu Allâh ‘Azza wa Jalla). [19]

Mengenal Nabi

Baca pula

Referensi

  1. Mu’jam Maqaayiis Al-Lughah, hal. 517-518
  2. Al-Mufradaat, hal. 268
  3. Al-Mufhim, 1/87
  4. Al-Qaulul Mufiid, I/152
  5. HR. Muslim no. 19.
  6. HR. Al-Bukhari no. 6872, 4269.
  7. HR. Muslim no. 96.
  8. HR. Muslim no. 916 dan 917.
  9. HR. Abu Dawud no. 3116.
  10. HR. Ibnu Majah no. 3796.
  11. HR. Al-Bukhari no. 835.
  12. HR. Muslim no. 384
  13. HR. Muslim no. 234
  14. HR. At-Tirmidzi no. 3383.
  15. HR. Ibnu Majah no. 3800 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
  16. At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali
  17. QS. Fâthir 35: 28
  18. Raudhatul Muhibbîn, hlm. 406
  19. Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 502