Al-Jamiil

Salah satu nama Allah yang mulia adalah Al-Jamiil (الجميل), Dialah Allah ‘azza wa jalla Yang Mahaindah baik dzat, nama-nama, sifat maupun segala af’al (perbuatan)-Nya.

Dalil

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

“Sesungguhnya Allah Mahaindah, menyukai segala keindahan.”1

Penjelasan Para Ulama

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

وهو الجميل على الحقيقة كيف لا  ***  وجمال سائر هذه الأكوان

من بعض آثار الجميل فربها  ***   أولى وأجدر عند ذي العرفان

فجماله بالذات والأوصاف والأفعال  *** والأسماء بالبرهان

لا شيء يشبه ذاته وصفاته  ***   سبحانه عن إفك ذي بهتان

“Dialah (Allah) Yang Mahaindah, bagaimana tidak  ***  Keindahan alam semesta ini

Merupakan sebagian dari pengaruh dari Allah Yang Mahaindah, maka Allah sebagai pencinta alam semesta ini   ***  Lebih pantas (disifiati dengan keindahan) menurut orang yang memiliki pengetahuan.

Maka Allah disifati dengan keindahan pada dzat, sifat-sifat, af’al (perbuatan) *** dan nama-nama-Nya dengan dalil.

Tida ada apapun yang menyerupai dzat dan sifat-Nya  ***  Maha suci Allah dari segala kedustaan orang yang mempunyai kedusataan.

Syaikh Muhammad Harras mengatakan sembari menjelaskan ucapan Ibnul Qayyim ini: “Adapun Al-Jamiil maka ini adalah salah satu nama Allah subhanahu wa ta’ala yang mengandung sifat Al-Jamaal (keindahan), yang ditetapkan dari sifat keindahan ini bagi Allah ada keindahan yang mutlak dan sempurna, yaitu keindahan yang hakiki, karena keindahan alam semesta dengan berbagai warna-warni dan jensinya merupakan sebagian dari pengaruh sifat keindahan Allah subhanahu wa ta’ala, maka Pencipata alam semesta yang indah ini jauh lebih pantas untuk disifati dengan keindahan ini dari pada alam semesta yang indah ini, karena Pemberi keindahan kepada alam semsta ini (yaitu Allah ‘azza wa jalla) jauh lebih indah bahkan mencapai keindahan yang sempurna dan Dialah Allah Yang Mahaindah dalam baik dalam dzat, nama, sifat dan af’al (perbuatan)-Nya.

Adapun keindahan dzat, maka ini adalah hal yang tak mungkin bagi makhluk untuk mengungkapkannya atau mencapai sebagian dari hakikatnya, untuk menggambarkan hal ini cukuplah bagi kita keadaan penduduk surga dengan nikmat yang tetap dan luar biasa yang mereka rasakan serta berbagai macam kesenangan dan kebahagiaan yang tak ada seorangpun yang bisa mengukurnya, tatkala mereka (penduduk surga) melihat Rabb mereka, dan mereka menikmati keindahan-Nya, merekapun lupa dengan segala nikmat yang mereka rasakan dan seolah lenyap pada diri mereka nikmat-nikmat surga itu, merekapun berharap seandainya nikmat melihat Allah itu terus menerus berlanjut dan tak ada sesuatupun yang lebih mereka sukai selain terus menerus menyaksikan keindahan Allah, merekapun mendapatkan keindahan ditambahkan atas keindahan yang sudah mereka dapatkan, merekapun selalu rindu untuk melihat Allah, hingga merekapun sangat gembira dengan hari mazid / tambahan (hari mereka melihat Allah) dengan kegembiraan yang membuat mereka berbunga-bunga.

Adapun keindahan nama-nama-Nya, maka semua nama Allah adalah indah, bahkan nama-nama itu adalah nama-nama yang paling baik dan indah, semua nama Allah menunjukkan kepada kesempurnaan pujian, keagungan, keindahan dan kebesaran, tidak ada satupun nama Allah yang menunjukkan kejelekan dan cela.

Adapun keindahan sifat, maka semua sifat Allah adalah sifat kesempurnaan dan keagungan, sifat yang berisi pujian dan sanjungan, bahkan sifat-sifat-Nya merupan sifat yang paling luas dan umum, sifat yang paling sempurna pengaruhnya apalagi sifat rahmat, kebaikan, kedermawanan, ihsan dan memberi nikmat.

Adapun keindahan af’al (perbuatan), maka tidak lepas dari perbuatan baik yang berhak untuk dipuji dan disyukuri, tidak lepas pula dari perbutan adil yang terpuji karena sesuai dengan hikmah dan pujian, maka tidak ada sama sekali pada perbuatan-Nya kesia-siaan, kezaliman. Semuanya berisi kebaikan, kasih sayang, petunjuk, bimbingan, keadilan dan kebijkasanaan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.”2

Karena kesempurnaan perbuatan mengikuti kesempurnaan dzat dan sifat, karena perbuatan merupakan pengaruh dari sifat, dan sifat Allah sebagaimana sudah kami katakan merupakan sifat yang paling sempurna, sehingga pantaslah perbuatan-Nya merupakan perbuatan yang paling sempurna.”3

Imam Al-Asbahani rahimahullah mengatakan: “Sebagian ahli kalam mengatakan Allah tidak boleh disifati dengan Al-Jamiil (Yang Mahaindah). Tidak ada alasan untuk mengingkari nama Allah ini, karena jika dalilnya shahih dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tak ada alasan untuk menentang dan telah shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

“Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan.”4

Maka sikap yang benar adalah menerima dan mengimani.”5

Di tempat lain Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan: “Kedermawanan merupakan salah satu sifat Allah ‘azza wa jalla dan bahwasanya Dia itu memberi dan tidak meminta, Allah adalah dzat Yang Mahdermawan, dan Allah adalah Yang Mahamulia, dan makhluk yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang berakhlak dengan konsekwensi dari sifat-Nya. Maka Allah itu Mahadermawan dan mencintai orang yang dermawan dan pemurah, Mahamengetahui dan mencintai ulama dan Mahaindah mencintai keindahan.”6

Segala kesempurnaan yang ada pada makhluk pasti ada kekurangannya, sesungguhnya Dzat yang memberikan kesempurnaan itu (yaitu Allah ‘azza wa jalla) lebih pantas dengan kesempurnaan itu dari pada yang diberi dengan tidak bisa dibandingkan antara Dia dengan mereka. Sebagaimana tidak dapat dibandingkan dzat mereka dengan Dzat-Nya dan sifat mereka dengan sifat-Nya. Dzat yang memberikan mereka pendengaran, penglihatan, kehidupan, ilmu, kemampuan dan keindahan lebih pantas mendapatkan semua itu dari pada mereka. Bagaimana seseorang mampu mengungkapkan keindahan-Nya secara sempurna. Sedangkan orang yang paling mengetahui tentang Dzat-Nya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Aku tidak bisa menghinggakan (menghitung) pujian kepada-Mu, Engkau sebagaimaa Engkau memuji diri-Mu.”7

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

حِجَابُهُ النُّورُ ، لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ

“Hijab-Nya (tabir-Nya) adalah cahaya jika Dia membukanya, maka cahaya-cahaya wajah-Nya akan membakar apa saja yang dicapai oleh penglihatan-Nya dari makhluk-Nya.”8

Mahasuci Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang zalim serta menolak kesempurnaan-Nya. Cukuplah kerugian dan kemurkaan yang mereka dapatkan bahwasanya tidak mungkin mereka mendapatkan ma’rifat kepada Allah ‘azza wa jalla dan berbahagia dengan mencintai-Nya.9

Baca pula

  • Al-Aakhir
  • Al-Awwal
  • Al-Azhiim
  • Al-Kariim
  • Al-Hadii

Referensi

  1. HR. Musllim no. 91. []
  2. QS. Hud : 56. []
  3. Syarah Al-Qasidah An-Nuniyyah, DR. Muhammad Khalil Harras, 2/64. []
  4. HR. Muslim no. 160. []
  5. Al-Hujjah fi Bayaan Al-Mahajjah, Al-Asbahani, 2/456. []
  6. Al-Wabil As-Sayyib, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 78. []
  7. HR. Muslim no. 751. []
  8. HR. Muslim no. 295. []
  9. Taudhihul Haqqil Mubin fi Syarhi Tauhid Al-Anbiya’ wal Mursalin minal Kaafiyah As-Syafiyah, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, 29-32. []